PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI

PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI
TABIB BERIJIN RESMI, HERBAL 100% ALAMI, AMAN SUDAH IJIN B-POM DAN HALAL MUI, PENGOBATAN MENGGUNAKAN HERBAL YANG SUDAH DIPERKAYA DENGAN RUQYAH ISLAMI YANG SYAR'I. HARGA TERJANGKAU. INFO LENGKAP KLIK PADA GAMBAR. SMS/WA TABIB UNTUK KONSULTASI DAN PEMESANAN OBAT DI: 08121341710 ATAU 0811156812

Wednesday, October 12, 2016

Ekonomi Islam Merupakan Kebaikan Bagi Semua, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Ekonomi Islam Sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin

“Utsman ibn Abul ‘Ash berkata kepada Umar Radhiallaahu anhu, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya di daerah kami terdapat lahan tanah yang tidak dimiliki seseorang, maka putuskanlah dia kepadaku untuk aku kelolanya, sehingga dia mendatangkan manfaat bagi keluargaku dan juga bagi kaum muslimin.” Maka Umar menetapkan lahan tersebut untuknya.
Ekonomi Islam (syariah) semakin tumbuh dengan sangat signifikan. Ditandai dengan bermunculannya lembaga-lembaga keuangan syariah baik bank syariah, asuransi syariah, hingga pegadaian syariah. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Islam selain memberikan ketenangan karena dijalankan sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya, juga memberikan keuntungan yang cukup menggiurkan.

Ekonomi Islam juga acapkali disebut sebagai ekonomi yang rahmatan lil ‘alamin, karena sesuai dengan sumbernya yaitu Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Seyogyanya, dengan kehadiran ekonomi Islam ini dapat memberikan jawaban yang nyata terhadap berbagai krisis ekonomi yang mendera.

Berkenaan dengan ekonomi syariah sebagai rahmatan lil ‘alamin, kita bisa merujuk terhadap dialog antara ‘Utsman ibn Abul ‘Ash dengan Amirul Mukminin Sayyidina Umar ibn Khattab di atas. Dalam dialog tersebut ‘Utsman ibn Abul ‘Ash meminta kepada Amirul Mukminin Umar ibn Khattab tanah yang tidak dimiliki seseorang dan tidak dikelola untuk dia kelola. Sehingga dengan dia kelola, maka tanah tersebut dapat hidup dan bermanfaat. Bermanfaat di sini diutarakan oleh ‘Utsman ibn Abul ‘Ash adalah bermanfaat bagi keluarganya dan juga bagi kaum Muslimin.

Dalam benak pikiran “Utsman Ibn Abul Ash adalah keluarga dan umat muslim yang harus menikmati keberhasilan dari pemanfaatan lahan yang diolah olehnya. Pemanfaatan yang dimaksud mungkin ketersediaan lapangan kerja, berzakat dan bersedekah kepada fakir-miskin, serta memberikan bantuan-bantuan lain yang sekiranya diperlukan.

Begitupula dalam perkembangan ekonomi Islam di Indonesia. Sudah selayaknyalah kepada pengembangan ekonomi umat Islam menjadi prioritas yang merupakan mayoritas di Indonesia. Dengan meningkatnya perekonomian umat Islam di Indonesia, berarti ekonomi Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin sebenarnya sudah terealisasi, merujuk terhadap dialog antara ‘Utsman Ibn Abul ‘Ash dengan Amirul Mukminin Sayyidina Umar ibn Khattab.

Dengan demikian kita berharap, bahwa kehadiran ekonomi Islam (syariah) di Indonesia mampu meningkatkan perekonomian umat Islam itu sendiri, sesuai dengan jargon ekonomi Syariah sebagai rahmatan lil ‘alamin. Wallaahu a’lam.

(Sumber: Zarkasih/Kantor Berita Ekonomi Syariah)

Ekonomi Islam Bukan Hanya Bank Syariah, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Ekonomi Islam Bukan Hanya Bank Syariah

Fenomena perbankan syariah di Indonesia dan lembaga keuangan syariah lainnya telah mengantarkan pemahaman terhadap umat Islam Indonesia adanya kelembagaan ekonomi dalam Islam. Sebelum dikenal perbankan syariah secara kelembagaan, pengetahuan tentang masalah ini masih berbentuk kajian teoritis tentang kemungkinan implementasi ekonomi Islam dalam wujud lembaga keuangan. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana model kelembagaan ekonomi Islam? Dalam wujud apa kelembagaan ekonomi Islam itu? Dan masih banyak deretan pertanyaan yang berkaitan dengan lembaga keuangan syariah yang intinya mempertanyakan apakah dimungkinkan ekonomi Islam itu terlembagakan dalam sebuah institusi keuangan modern, semacam perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya?

Jawabannya adalah bisa dan dimungkinkan, walupun realitanya kita dituntut melalui jalan proses islamisasi dari berbagai lembaga keuangan modern yang notabene-nya merupakan hasil temuan dari kaum kapitalis-Barat dan kendaraan bagi mereka untuk mensukseskan cita-cita mewujudkan imperium perekonomian global. Pilihan islamisasi merupakan pilihan yang mengandung "pil pahit" karena kita dianggap sudah tidak dapat menemukan lembaga keuangaan syariah yang betul-betul genuine bersumber dari al-Qur'an maupun as-Sunnah. Akibatnya, kita sedikit banyak akan mengekor dengan model lembaga keuangan yang ditawarkan oleh kaum kapitalis-Barat, bahkan terkesan adanya mencari celah (hela) untuk tidak terperosok pada kondisi yang dianggap tidak sesuai dengan syariah Islam.

Dalam beberapa hal munculnya lembaga keuangan syariah di Indonesia semacam perbankan syariah mempunyai arti yang penting bagi perkembangan ekonomi Islam di masa mendatang. Munculnya lembaga keuangan syariah di Indonesia saat ini merupakan fase booming-nya ekonomi Islam secara kelembagaan. Banyak sekali perbankan syariah, asuransi syariah dan lembaga keuangan yang mengusung nama syariah bermunculan seperti jamur di musim hujan. Bahkan, ada asumsi kalau tidak ikut mendirikan lembaga keuangan syariah atau paling tidak dengan cara membuka unit usaha syariah dianggap tidak mengikuti trend masa ini dan nantinya akan ditinggal oleh umat Islam serta belum diakui keislamannya dalam berekonomi.

Tetapi, yang perlu diperhatikan adalah kesadaran kita akan suatu pemahaman bahwa ekonomi Islam bukan hanya dimonopoli oleh dunia perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya. Hal ini dikarenakan paradigma masyarakat sementara ini masih menganggap bahwa kalau bicara tentang ekonomi Islam orientasinya langsung tertuju pada eksistensi lembaga keuangan syariah yang termanifestasikan dalam wujud perbankan syariah ataupun asuransi syariah. Intinya, ekonomi Islam itu adalah perbankan syariah dan asuransi syariah. Paradigma yang tidak keseluruhannya salah, tetapi ada yang perlu diluruskan di dalamnya. Bahwa ekonomi Islam itu tidak hanya perbankan syariah dan asuransi syariah. Sebaliknya, perbankan syariah dan asuransi syariah merupakan serpihan kecil dari ekonomi Islam yang terlembagakan dalam institusi keuangan syariah.

Lebih luas lagi, pemahaman mengenai ekonomi Islam merupakan penjabaran dari ajaran Islam itu sendiri yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Banyak ayat al-Qur'an dan as-Sunnah yang telah memberikan panduan kepada kita untuk melakukan kegiatan ekonomi. Pada tataran mikro, kegiatan ekonomi Islam juga dapat diterapkan pada kehidupan rumah tangga. Prinsip-prinsip dasar dalam ekonomi Islam menjadi landasan dalam membangun kehidupan berumah tangga dan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ajaran tentang hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan serta berlaku tidak boros merupakan bagian kecil dari ajaran Islam yang bermuatan ekonomi. Di sisi yang lain, prinsip hidup yang memberikan pedoman tentang ajaran "berpuasa itu lebih baik dari pada berhutang" adalah cerminan dari nilai ekonomi Islam.

Pada gambaran di atas keduanya dapat saling melengkapi. Pertama, implementasi ekonomi Islam dalam tataran makro-kelembagaan dengan model perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya sebagai acuan pelaksanaan. Kedua, pelaksanaan ekonomi Islam dalam tataran mikro-keluarga dengan cara penundukkan pada nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah untuk diimplementasikan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Jika keduanya berjalan bersamaan berarti cakupan pada skala mikro dan makro sudah dapat diwujudkan dalam implementasi secara riil. Masalahnya sekarang adalah mengukur seberapa besar tingkat keterlibatan umat Islam dalam melaksanakan nilai-nilai ekonomi Islam yang terkandung dalam al-Qur'an dan as-Sunnah baik dalam tataran mikro-keluarga atau makro-kelem-bagaan. Sebuah pekerjaan yang besar dan proyek yang menantang jika diadakan penelitian secara serius tentang hal tersebut. Saat ini, belum ada gambaran yang jelas tentang "peta" keterlibatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan syariah Islam yang bermuara pada perilaku ekonomi.

Realita di masyarakat kita, umat Islam Indonesia sudah memberikan perhatian yang serius terhadap konsistensi melaksanakan ajaran Islam walau masih belum sempurna. Khusus dalam masalah ekonomi, praktek kehidupan yang sederhana dan tidak berlebihan sudah menjadi pemandangan yang khas dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Mereka mencukupi kehidupannya dengan kekayaan alam yang ada di lingkungan sekitar. Tidak berlebihan jika mereka terlihat sebagai satuan keluarga yang hidup dalam kebersahajaan dan merasa tenang dengan kehidupan yang dijalaninya bersama masyarakat lainnya. Suasana kehidupan seperti ini dibangun atas dasar kesadaran untuk selalu mencari ridha dari Allah Swt. dan selalu diorientasikan untuk mengejar karunia yang sebelumnya sudah dipersiapkan oleh Allah Swt. bagi kehidupan manusia di alam dunia ini. Potret kehidupan seperti di atas merupakan salah satu serpihan dari pelaksanaan ajaran ekonomi Islam yang sudah terlembagakan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.

Di sisi yang lain, nilai moral yang berisikan ajaran untuk "berpuasa dari pada berhutang" merupakan serpihan lain dari perilaku dalam melaksanakan ajaran ekonomi Islam yang mempunyai arti penting terhadap pemenuhan kebutuhan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Ajaran moral ini sangat simpel dan sederhana tetapi mempunyai implikasi yang besar bagi kehidupan manusia baik pada skala mikro maupun pada skala makro. Implementasi ajaran untuk "berpuasa dari pada berhutang" mengandung nilai implisit agar kita selalu mengedepankan semangat berdikari dan semangat bertumpu pada kekuatan sendiri dengan tidak menggantungkan pada kekuatan orang lain dengan mengharapkan bantuan dan pertolongan jika suatu ketika mengalami kondisi kekurangan ekonomi. Nilai moral ini memberikan pelajaran bagi kita semua agar pada kondisi dimana kita mengalami kekurangan ekonomi, membiasakan untuk "berpuasa" adalah sesuatu yang lebih baik dari pada kita harus "berhutang" kepada pihak lain. Pada kondisi seperti ini, kekurangan kebutuhan ekonomi kita ditahan dalam batas tertentu dengan cara menjalankan puasa serta berusaha mencari kekurangan tersebut dengan mencoba berwirausaha, baik melalui usaha sendiri ataupun dengan bekerja pada orang lain.

Persepsi yang tidak kesemuanya benar saat ini adalah tradisi "berhutang" telah menjadi sesuatu yang membanggakan, bahkan telah menjadi trend baru bagi model pembangunan yang sedang digalakkan di republik ini. Tidak hanya pengusaha swasta yang mempunyai tradisi kurang baik ini, tetapi pemerintah sendiri memberikan contoh yang vulgar berkenaan praktek hutang ke beberapa negara donor. Data setiap tahun anggaran pendapatan dan belanja negara memastikan adanya rekening yang bersumber dari bantuan (baca: hutang) luar negeri. Hal ini menggambarkan bahwa perekonomian Indonesia saat ini tidak dapat melepaskam dari lilitan hutang luar negeri. Sebuah gambaran negara yang penduduknya hidup dibiayai dari hutang. Amat tragis dan memilukan. Masalah ini akan terurai jika ada keberanian dari shareholder dan stockholder dari negara ini untuk mengambil keputusan agar melakukan "puasa" bersama, baik pemerintahnya ataupun penduduknya. Sudah saatnya kita sekarang ini "puasa" bersama dan tidak "berhutang" demi kemaslahatan di masa mendatang dengan mengacu pada kemampuan dan kekuatan yang ada di negeri ini. Maka dari itu perlu adanya penyampai-an informasi yang luas terhadap masyarakat agar membiasakan "berpuasa" daripada "berhutang". Bila perlu ada gerakan nasional secara menyeluruh puasa bersama-sama antara elemen bangsa. Jika ini terlaksana, maka serpihan nilai ekonomi Islam yang bermuatan moral dapat diimplementasikan dalam kehidupan riil.

***

Realita di atas perlu disadari bersama bahwa ekonomi Islam mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya sekedar yang berskala makro-kelembagaan dengan model perbankan syariah ataupun asuransi syariah, tetapi lebih jauh dari itu implementasi ekonomi Islam dapat terlaksana melalui kesadaran akan perilaku individu di keluarga untuk melaksanakan ajaran Islam secara kaffah, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai ekonomi. Ekonomi Islam dapat ditumbuhkembangkan dari lingkungan keluarga dengan cara menjalankan ajaran Islam itu sendiri. Ini yang menjadi titik pembeda antara konsep ekonomi Islam dengan konsep ekonomi konvensional, baik kapitalis maupun sosialis. Dalam ajaran Islam, melaksanakan ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari mempunyai arti juga menjalankan Islam itu sendiri, karena sumber yang dijadikan dasar dalam melaksanakan ekonomi Islam adalah agama Islam dengan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai referensi utamanya. Sedang dalam ekonomi konvensional (baca: kapitalis dan sosialis) sudah melepaskan nilai-nilai moral dan tidak mempunyai rujukan yang otentik semacam ekonomi Islam. Wallahu 'alam bis shawab.



(Sumber: AM Hasan Ali, MA/Kantor Berita Ekonomi Syariah)

Aktualisasi Ekonomi Syariah melalui Puasa, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Hakikat puasa adalah mengendalikan diri dan hawa nafsu dari segala yang membatalkan nilai pahala puasa. Dengan demikian, puasa juga secara substansial bermakna pengendalian diri dari perilaku tercela, seperti mubazzir (berlebih-lebihan) dalam konsumsi, membuka usaha hiburan maksiat (diskotik), dan segala sesuatu yang diharamkan, seperti ghibah, berbohong, berkata keji, korupsi, menerima suap, main judi, dan juga termasuk makan riba (bunga bank).

Orang yang berpuasa secara benar pasti berusaha menghindari perbuatan-perbuatan haram tersebut, karena bila perbuatan itu dilakukan, puasanya tidak bernilai sama sekali. Inilah yang disabdakan Nab Muhammad SAW, “Banyak orang yang puasa, tidak mendapatkan nilai apa-apa, kecuali rasa lapar dan dahaga saja.”
Ruang lingkup ekonomi syariah sangat luas, seluas ruang lingkup ekonomi konvensional. Karena itu, ekonomi syariah tidak saja sebatas lembaga keuangan dan perbankan saja, tetapi juga tentang produksi,distribusi dan konsumsi, juga tentang moneter, fiskal, manajemen, akuntansi dan sebagainya. Keseluruhan ekonomi syariah itu harus kita aktualisasikan dalam kehidupan keseharian sebagai pengamalan syariah Islam di bidang muamalah.

Saat ini, kita perlu melakukan evaluasi dan kritik terhadap perilaku kita saat ini dalam melaksanakan puasa. Cara pandang kita pun tentang ramadhan perlu diluruskan. Fenomena yang terjadi pada bulan Ramadhan adalah terjadinya pola kosumsi yang berlebihan, yaitu dengan membeli makanan, minuman, buah-buahan secara berlebihan yang harganya relative lebih mahal dari hari-hari biasanya.

Puasa dan perilaku konsumen

Pertama-tama, ibadah puasa harus melahirkan setiap sikap hidup sederhana dan efisien dalam konsumsi. Sikap hidup sederhana, efisien dan tak berlebih-lebihan dalam bulan puasa, terlihat ajaran Nabi Muhammad SAW ketika berbuka puasa. Nabi mengajarkan bahwa makanan berbuka puasa cukup dengan seteguk air dan memakan sebutir kurma. Sikap dan perilaku itu saat ini hampir hilang dari kehidupan umat Islam, terutama di Indonesia.

Saat ini telah menjadi kebiasaan umat Islam memupuk makanan, minuman, buah-buahan, segala macam kue, bubur, kolak dan acara berbuka puasa yang menunjukkan sikap sidup israf dan tabzir. Perilaku ini jelas bertentangan dengan Sunnah Rasulullah dan syariah Islam.

Islam sangat anti terhadap sikap hidup berlebih-lebihan atau mubazzir, karena mubazzir adalah saudara setan. Islam mengajarkan sikap hidup sederhana dalam mengkonsumsi barang-barang dan makanan. Dalam al-Qur’an dengan tegas Allah berfirman, “Makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Perilaku israf dan tabzir tidak saja bertentangan dengan syariah atau Sunnah Rasulullah, tetapi juga menunjukkan sikap hidup individualis dan egois, karena ketika kita menerapkan pola konsumsi israf (berlebihan),masih banyak saudara-saudara kita yang dilanda krisis ekonomi yang sangat menyedihkan. Padahal kalau kita bisa hemat, maka sisa uang itu bisa digunakan untuk infak atau sedekah kepada para fakir miskin yang memerlukan dana untuk hidup secara layak.

Belum lagi Ramadhan usai, sebagian sudah sibuk membeli pakaian baru, menyiapkan kue dan minuman untuk lebaran dan merencanakan rekreasi lebaran. Inilah perilaku konsumen muslimin yang harus diluruskan secara bertahap.

Selain itu, dalam konteks ini kita perlu merenungkan salah satu hikmah puasa. Apabila kaum muslimin meningkatkan konsumsi selama Ramadhan, maka secara agregat, harga-harga akan naik dan hal ini sangat berpotensi untuk mewujudkan inflasi. Padahal inflasi adalah suatu realita yang tidak diinginkan. Bila hal ini terjadi, maka dampak puasa menjadi negatif, yakni menambah tingkat kemiskiskan masyarakat, karena harga-harga menjadi naik dan daya beli masyarakat semakin menurun. Apabila masyarakat menjadi semakin miskin karena perilaku orang yang berpuasa,

Seharusnya di bulan ramadhan, makan menjadi dua kali sehari. Dengan demikian, kaum muslimin mengurangi jatah makan satu kali dalam sehari. Jadi, seharusnya biaya makan bekurang 1 kali setiap hari. Misalkan biaya 1 kali makan Rp.8.000,- perorang dalam satu keluarga yang berjumlah 6 orang misalnya, maka dalam satu hari terjadi penghematan sebesar Rp.48.000,-. Sisa dana inilah yang seharusnya diinfaqkan kepada saudara-saudara kita yang masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.

Bila jumlah keluarga di Medan, misalkan 1.000.000,- keluarga, maka dana kelebihan dari penghemaan makan selama puasa berjumlah Rp.24 milyar. Selain adanya penghematan itu, kita bisa mencegah naik harga-harga barang dan bahkan inflasi

Al-Quran melukiskan orang-orang beriman sebagai orang yang pertengahan dalam mengkonsumsi, yaitu orang-orang yang ketika membelanjakan harta tidak berlebihan dan tidak kikir, tatapi berada di antara keduanya.

Konsumsi berlebihan adalah cirri khas masyarakat materialis yang tidak bertuhan. Sikap berlebihan itu disebut dengan istilah israf (boros). Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebihan, baik makanan, minuman, pakaian, peralatan rumah tangga, kendaraan, media elektronik, dan sebagainya.

Bahkan tabzir menurut Dr. Monzer Kahf, pakar ekonomi Islam Pakistan, tidak saja berarti berlebihan dalam mengkonsumsi barang saja, tetapi juga mempergunakan harta dengan cara yangsalah, seperti penguapan, perjudian, menyumbang untuk acara maksiat (keyboard maksiat), dan sebagainya.





Puasa dan petasan

Sehubungan dengan itu, umat Islam dilarang keras memproduksi dan mendistribusikan (menjual) dan mengkonsumsi petasan tersebut. Pihak berwajib harus mencegah dan melarang jual-beli petasan, agar tidak bisa dikonsumsi kaum muslimin. Karena dampaknya menimbulkan keresahan bagi masyarakat muslim terutama bagi yang menjalankan ibadah tarawih. Dan karena itu, penggunaan uang untuk membeli petasan tergolong kepada perilaku mubazzir yang di haramkan.


Puasa dan kejujuran

Kejujuran dalam bisnis merupakan perilaku terpuji dalam Islam, sehingga Nabi menempatkan pedagang yang jujur sejajar dengan para Nabi, syuhada dan orang-orang shalih. Ramadhan mestinya manjadi momentum paling ampuh untuk melatih kejujuran para pelaku ekonomi. Ibadah puasa berbeda dengan ibadah lain. Puasa adalah ibadah sirryah (rahasia), karma yang mengetahui apakah seseorang itu puasa atau tidak hanyalah dirinya sendiri dan Allah SWT. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Allah. Maka meskipun dia sendirian di dalam kamar, dia tidak akan minum, karena Allah selalu mengawasinya. Dengan demikian puasa sangat efektif melatih kejujuran. Bila kejujuran telah menjelma dalam diri orang yang berpuasa, maka dia tidak akan melakukan kebohongan, manipulasi dan perilaku yang berbau KKN lainnya dalam kegiatan ekonominya. Inilah yang dikehendaki ekonomi syariah.


Puasa dan perilaku ribawi

Sebagai orang yang beriman yang sedang melaksanakan puasa, berekonomi dengan system syariah adalah suatu keharusan, apalagi orang yang kualitas puasanya pada tingkatan khawash atau khaaswhul khawas. Alangkah anehnya, bila kita berpuasa secara sungguh-sungguh, tapi riba (bunga) kita amalkan dalam praktek ekonomi kita. Puasa kta lakukan secara Islam, tapi dalam masalah ekonomi kita amalkan sistem riba yang diimport dari sistem kapitalis yang telah merusak tatanan ekonomi dunia, termasuk Indonesia.

Hukum bunga bank saat ini sudah jelas tidak sesuai dengan syariah Islam. Seluruh pakar ekonomi syariah di dunia saat ini telah sepakat dan ijma tentang keharaman bunga bank. Kesepakatan itu malah telah menjadi Ijma’ ulama sedunia. Dulu sebelum bank syariah lahir di dunia ini, masih ada ulama yang memperbolehkan bunga bank dengan alasan darurat. Dengan hadirnya bank syariah tanpa bunga, maka segelintir pendapat yang membolehkannya menjadi batal. Karena itu saat ini tidak ada satupun ulama pakar ekonomi Islam membolehkan bunga tersebut, kecuali ustadz yang tak faham ekonomi syariah atau ketinggalan informasi keilmuan tentang Islamic economic and finance serta perkembangan spektakuler perbankan syariah tanpa bunga.

Maka, melalui puasa yang kita laksanakan ini, menjadi keharusan bagi kita untuk secara bertahan mengamalkan sistem ekonomi syariah. Salah satu cara paling mudah adalah mengalihkan tabungan dan deposito dari bank ribawi ke bank syariah yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ONH dan dana kaum muslimin lainnya, seharusnya dikelola umat Islam sendiri secara syariah. Dengan demikian barulah tujuan puasa membentuk manusia takwa dapat terwujud.

Orang yang bertakwa tidak mau memakan riba yang diharamkan dan dikutuk Allah SWT. Bagi orang yang telah terlanjur bekerja di bank ribawi tersebut, banyaklah minta ampun di bulan Ramadhan dan berdoalah kiranya bank tempat dia bekerja berubah menjadi bank syariah atau membuka cabang syariah, seperti yang dilakukan Bank Mandiri, BNI 46, BTN, Bank Susila Bakti,.

Keniscayaan berekonomi secara syariah ini, lantaran penerapannya mempunyai manfaat yang besar, baik bagi pengamalnya, maupun jamaah kaum muslimin secara keseluruhan.

1.Menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi syariah adalah upaya untuk menjadi pemeluk Islam secara kaffah.
2.Menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi syariah mendapatkan dua keuntungan, duniawi berupa bagi hasil, keuntungan akhirat pahala ibadah melalui ekonomi dan terhindar dari dosa riba. Bagi nasabah yang memiliki modal (aghniyak), menanam saham di Lembaga Keuangan Islam, tidaklah berkembang secara ekonomis, sebagaimana dalam sistem ekonomi konvensional.
3.Menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi syairah berarti melepaskan diri dari mainstream riba yang diharamkan dan terbebas dari segala unsur syubhat.
4.Memajukan ekonomi syariah lewat bank syariah, MLM Syariah, Ahad-Net International, BMT (Balai Usaha Mandiri Terpadu-Baitul Maal Wat Tamwil), BPRS, dan Asuransi Takaful, berarti umat Islam berupaya memajukan ekonomi umat Islam sekian lama terpuruk. Menabung di bank syariah dan membeli produk-produk muslim, berarti kita berupaya mengentaskan kualitas ekonomi kerakyatan.
5.Pemberdayaan dan peningkatan ekonomi umat berimplikasi terhadap kemajuan umat Islam di segala bidang, seperti pendidikan atau SDM, sebab kondisi ekonomi yang tinggi mempengaruhi tingkat pendidikan sehingga melahirkan sumber daya manusia berkualitas.


Penutup

Puasa bertujuan membentuk manusia yang bertakwa, jauh dari perilaku dan sifat yang tercela dan terhindar dari segala unsur yang diharamkan seperti perilaku israf, memproduksi barang haram, perilaku riba, dan sebagainya. Jadi, bila ada orang yang berpuasa tetapi masih melakukan pola konsumsi yang suka berlebih-lebihan, tidak jujur dalam bisnis, mempraktekkan bunga bank, maka puasanya hanya pada tingkatan paling rendah dan belum mencapai derajat khawash sedikitpun, sehingga jauh dari derajat takwa. Sebab, bagaimana mungkin dia menerima predikat takwa dan puasanya diterima Allah sedangkan dia masih mau makan bunga uang yang diharamkan. Karena itu jalan terbaik adalah memasukkan uang di bank syariah baik yang telah dikembangkan pemerintah maupun swasta. Bila di daerah anda belum ada bank syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya, dirikanlah lembaga-lembaga keuangan itu, dengan menyatukan kekuatan para aghniyak, ulama, cendikiawan, pemerintah dan genarasi muda militan yang memiliki integritas, motivasi dan keahlian dalam bidang ekonomi.

(Sumber: Agustianto/Kantor Berita Ekonomi Syariah)

Wakaf dan Kesejahteraan Ummat, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Dalam ajaran Islam, peninggalan wakaf yang pertama kali dikenal dalam masyarakat Arab pra Islam adalah Al-Ka’bah Al-Musyarafah yaitu rumah peribadatan pertama yang dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s sebagai tempat untuk berkumpul (Haj) dan tempat yang aman bagi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan masyarakat Arab waktu itu kemudian menjadikan Ka’bah sebagai pusat penyembahan berhala, dengan keyakinan bahwa penyembahan berhala tersebut merupakan salah satu upaya pendekatan diri kepada Allah. Selanjutnya setelah diutusnya nabi Muhammad saw syari’at Islam mengaturnya lebih jelas dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dan diikuti oleh para sahabatnya.

Pada masa Islam, kita ketahui bahwa wakaf pertama dalam tasyri’ Islam adalah wakaf masjid yang dibangun umat Islam bersama Rasulullah di Quba pada tahun 622 M. Selanjutnya adalah wakaf masjid Nabawi di Madinah yang merupakan masjid terpenting kedua setelah masjid Haram di Makkah.

Dalam kajian-kajian fiqh hadits yang cukup terkenal yang menunjukkan disayari’atkannya wakaf, selain Hadits Umar bin Khattab adalah hadits Abu Thalhah riwayat Muslim dan Anas bin Malik; Abu Thalhah adalah sahabat yang paling banyak kebun kormanya di Madinah. Harta yang paling ia cintai adalah Bairaha’ yang tepat berhadapan dengan masjid Nabi. Setelah turun dan dibacakannya ayat 92 Surat Ali Imran, maka Abu Thalhah berdiri dan mengatakan: “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha’, ia kami sedekahkan kepada Allah, kami hanya mengharapkan kebaikan dan pahalanya di sisi Allah. Pergunakanlah kebun itu sesuai dengan petunjuk Allah.” Maka Rasulullah pun menerima wakafnya dan memberikan petunjuk-petunjuk tentang penggunaan hartanya tersebut. (Abdul Wahab, Al-Waqf, 39).

Selanjutnya permasalahan wakaf menjadi wacana fiqhiyah yang dibicarakan secara panjang lebar oleh para fuqaha’ berkenaan pengertian, syarat-syarat dan rukun wakaf, syarat-syarat wakif, syarat-syarat harta wakaf, syarat sasaran wakaf serta ketentuan-ketentuan lain berkaitan dengan pemberdayaan lembaga wakaf.

Wakaf Potensial dalam Mengembangkan Kesejahteraan Umat

Negara-negara Islam modern menjadikan wakaf sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya di samping zakat. Contoh pemanfaatan wakaf seperti ini adalah Negara Mesir yang mauquf ‘alaih nya Universitas Al-Azhar.


Wakaf-wakaf di sana terdiri dari kebun-kebun korma yang jumlahnya mencapai ribuan hektar, hotel-hotel berbintang yang dikelola secara profesional, gedung-gedung perumahan/kondominium, toko-toko yang disewakan yang tiap tahun menghasilkan uang dan keuntungan yang banyak, sehingga wakaf tersebut merupakan sumber dana yang produktif yang tidak pernah kering.

Selain berupa gedung-gedung universitas dengan segala perlengkapannya yang serba modern, asrama-asrama mahasiswa dan dosen yang memadai. Dan itu semua dapat membiayai gaji karyawan, dosen dan beasiswa, serta membiayai mubaligh ke luar negeri, bahkan pada masa pemerintahan Presiden Gamal Abdun Nasher, di saat negara memerlukan bantuan keuangan, pemerintah meminjam ke Badan Wakaf Al-Azhar, bukan kepada bank dunia yang mematok bunga yang cukup tinggi (Rahmat Jatnika, 1993).

Wakaf dan Administrasi Pemerintahan

Keterlibatan pemerintah untuk mengatur masalah perwakafan adalah merupakan keniscayaan atas dasar kepentingan kemaslahatan (Al-Maslahah al-mursalah). Karena hal tersebut sudah menyangkut kepentingan umum (masyarakat banyak); jika tidak akan menimbulkan ketidaktertiban, kaidah yang populer dalam masalah ini adalah “Pemerintah berkewajiban mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan kemaslahatan.” Oleh karena itu ahli-ahli fiqih moneter dan administrasi Islam banyak yang membicarakan wakaf dengan pendekatan administrasi negara dan moneter.

Dalam kitab Al-Ahkam As-sulthaniyah (Hukum-hukum Negara) karangan Al-Mawardi Asy-Syafi’i, kitab Al-Ahkamu Shullhaniyah karangan Abu Ya’la dari Madzhab Hambali dan kitab as-Syiyasah Syar’iyah (Strategi Hukum) kalangan Ibnu Taimiyah, membahasnya secara signifikan. Kitab Al-Kharaj (Pajak Hasil Bumi) karangan Abu Yusuf, kitab Al-Kharaj (Pajak hasil Bumi) karangan Yahya bin Adam, kitab Al-Amwal (kekayaan) karangan Abu Ubaid membahasnya dengan pendekatan moneter yang cukup mamadai. Ahkam al-Auqaf oleh Asy-Syaibani, Ahkam al-Waqf karya Abdul Wahab khallaf, Risalah fi Hukmi Bai Al-Ahbas oleh Imam Yahya membahasnya dengan pendekatan hukum administrasi pemerintahan. Karena itu negara-negara Islam modern menjadikan wakaf sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya di samping zakat.


Wakaf dan Perwakafan di Indonesia

Pada tanggal 27 Oktober 2004 Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-undang tentang wakaf yang kemudian terkenal dengan undang-undang nomor 41 tahun 2004.


Dalam sejarah hukum di Indonesia wakaf diatur dengan tiga instrumen hukum, yaitu: pertama dengan instrumen Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, kemudian yang kedua dengan instrumen Inpres yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) lalu yang terakhir dengan instrumen Undang-Undang nomor 41 tersebut.


Hal ini menindikasikan bahwa pemerintah Indonesia menaruh perhatian serius terhadap lembaga wakaf serta mensiratkan kesungguhan pemerintah untuk memperkokoh lembaga hukum Islam menjadi hukum nasional dalam bentuk transformasi hukum. Namun undang-undang tersebut belum bisa dilaksanakan secara optimal, karena secara organik masih memerlukan beberapa peraturan pelaksanaan yang diperintahkan oleh Undang-undang ini. Di samping itu juga perlu dipersiapkan SDM dalam rangka menjalankan tugas terkait dengan UU ini antara lain Badan Wakaf Indonesia dan para Nadzir yang diperankan dengan baik.

Ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dalam persoalan wakaf, namun yang terpenting bahwa wakaf tersebut harus punya prinsip untuk kesejahteraan rakyat, karena kalau melihat sejarah dan praktek wakaf di zaman nabi Muhammad Saw ternyata keberadaan badan wakaf sangat potensial dan menentukan bagi kelancaran roda ekonomi pada saat itu.

Selain itu prinsip yang harus dipegang dalam masalah wakaf ini adalah agar barang-barang yang diwakafkan tersebut jangan sampai habis atau rusak, dia harus tetap utuh dan menjadi dana abadi, dan ketika seseorang telah mewakafkan sesuatu apapun yang bisa diwakafkan, maka dia tidak bisa lagi mengambil kembali barang yang diwakafkan itu. Untuk melindungi kepentingan-kepentiongan tersebut negara telah memberikan payung hukum dengan instrumen yang khusus dengan undang-undang.

Ada beberapa hal yang menjadi pokok pikiran dari undang-undang tersebut, paling tidak meliputi lima prinsip; Pertama, untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, hal tersebut dapat dilihat adanya penegasan dalam undang-undang ini agar wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannnya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf yang harus dilaksanakan.


Kedua, ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut undang-undang ini wakif dapat pula mewakafkan sebahagian kekayaan berupa harta benda bergerak, baik berwujud dan tak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya.

Dalam hal benda bergerak berupa uang, wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syariah. Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah di sini adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang keuangan syari’ah, misalnya badan hukum di bidang perbankan syari’ah.

Ketiga, peruntukan harta wakaf tidak semata-mata kepentingan sarana ibadah dan sosial, tetapi juga dapat diperuntukkan memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Karena itu sangat memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf untuk kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syari’ah.

Keempat, untuk mengamankan harta benda wakaf dan campurtangan pihak ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional Nazhir.

Kelima, undang-undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf dan memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. 9Lihat penjelasan dari UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf).

Fiqih dan Peraturan Perundangan tentang Wakaf

Pembahasan ulama tentang wakaf sesungguhnya telah cukup maju, banyak gagasan yang mereka kemukakan sudah mengantisipasi perkembangan zaman.

Fuqaha madzhab maliki misalnya, membolehkan mewakafkan segala sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada orang yang diberi wakaf, baik barang bergerak maupun tidak bergerak untuk selamanya (Ali Fikri, Al-Muamalat, 3007) bahkan beliau berpendapat bahwa manfaat hewanpun dapat diwakafkan, apalagi memanfaatkan uang.

Madzhab Syafi’i dan hambali memberikan penekanan pada kekekalan manfaat, baik harta wakaf itu berupa benda bergerak seperti mobil dan hewan, atau benda tidak bergerak sepeti rumah dan tanaman boleh diwakafkan. Merekapun membolehkan wakaf terhadap benda milik bersama (kolektif).

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (4) menyatakan bahwa: “Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.” Kemudian pasal 217 ayat (3) menyatakan bahwa: Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.” Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 pasal 4 menyatakan: “Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan perkara.”

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beberapa fuqaha seperti Imam Az-Zuhri juga berpendapat bahwa boleh mewakafkan dinar dan dirham, implementasinya adalah bahwa dinar dan dirham tersebut dijadikan sebagai modal usaha (dagang) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Menurut Madzhab Hanafi bahwa uang yang diwakafkan dijadikan modal usaha dengan sistem mudharabah atau murabahah dan sistem bagi hasil lainnya yang sah menurut syar’i. Keuntungan dan bagi hasil tersebut diberikan untuk kepentingan umum.

Melihat prinsip-prinsip dalam peraturan perundang-undangan wakaf baik yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 di atas nampak bahwa peraturan perundangan tersebut sinkron dengan pendapat madzhab-madzhab yang dikenal dalam fiqih Islam. Bahkan keberadaan peraturan perundangan wakaf setidaknya telah memberikan pengertian keluasan cakupan benda wakaf sekaligus memberikan legitimasi kekuatan dan kepastian hukum wakaf; misalnya tentang ketentuan kewajiban mendaftarkan tanah wakaf, syarat-syarat nadzir dan lain sebagainya.


Wakaf adalah merupakan sebuah lembaga keagamaan yang bernilai ekonomi tinggi, kalau dikelola secara profesional maka keberadaannya menjadi sesuatu yang dapat menopang perekonomian umat. Kita bisa berkaca kepada wakaf Al-Azhar yang mampu membantu keuangan pemerintah disaat terjadi krisis moneter. (zar)

(Sumber: Drs. H. Abdul Salam, S.H., M.H/Suara Muhammadiyah No.19/Th. Ke-90)

Transaksi Derivatif Dalam Perspektif Syariah, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Krisis keuangan global yang terjadi di Amerika Serikat telah menimbulkan keterpurukan ekonomi yang sangat dalam bagi perekonomian AS. Krisis keuangan yang berawal dari krisis subprime mortgage itu merontokkan sejumlah lembaga keuangan AS. Raksasa keuangan sebesar Lehman Brothers pun bisa tumbang. Nyatanya dia tidak sendirian, pelaku bisnis raksasa lainnya juga mengalami nasib tragis yang sama, seperti Washington Mutual Bank. Perusahaan asuransi terbesar di dunia American International Group (AIG) dan perusahaan sekuritas raksasa Merrill Lynch, Morgan Stanley dan Goldman Sachs mengalami sempoyongan yang luar biasa. Pemerintah AS terpaksa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. Para investor mulai kehilangan kepercayaan, sehingga harga-harga saham di bursa-bursa utama dunia pun rontok, termasuk Indonesia.

Menyusul tumbangnya banyak perusahaan finansial, pencaplokan perusahaan pesaing makin marak. Pengambil alihan secara paksa (hostile take over) menjadi sesuatu yang wajar dalam dinamika pasar. Bagi perusahaan finansial yang memiliki produk derivatif luas di pasar, keberadaan perusahaan bisa dipermainkan para spekulan. Saat perusahaan mulai goyah pencaplokan oleh perusahaan lain tidak terhindarkan. Pasar menjadi ganas dan liar, tidak terkendali.

Para analis menilai, bencana pasar keuangan akibat rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu, tinggal menunggu waktu saja. Inikah tanda-tanda keruntuhan sebuah imperium, negara adi daya bernama Amerika Serikat?

Sebagai negara adi daya dengan gross domestic bruto (GDP) terbesar di dunia, Amerika Serikat seharusnya mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga kestabilan dan kesehatan sistem dan pasar keuangan di negaranya, karena akan berdampak besar bagi negara-negara lain. Tetapi justru Amerika Serikat yang tersungkur jatuh ke jurang krisis keuangan yang sangat dalam. Dalam sistem ekonomi konvensional kapitalisme yang anutnya, dihalalkan kegiatan bisnis derivatif dan spekulatif di pasar uang dan pasar modal. Praktek bunga, maysir dan gharar menjadi kebiasaan.

Ada banyak analisis terkait dengan kehancuran pasar finansial, mulai dari kebijakan defisit AS, kebijakan suku bunga rendah di era Greenspan, keserakahan elit politik, kegiatan spekulatif para petinggi perusahaan, seperti dilakukan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers, tingginya biaya program politik luar negeri, manipulasi laporan keuangan dan lain-lain. Hampir semua analisis itu tidak menukik kepada akar masalah yang paling dalam, sehingga apapun obat dan strategi pemulihan yang diberikan pasti tidak mujarab. Penyakit krisis pasti kembali kambuh dan terus berulang. Paparan dalam tulisan ini akan menjelaskan akar masalah yang sesungguhnya dari krisis keuangan yang selalu terjadi sepanjang sejarah, termasuk krisis keuangan saat ini yang bermula dari Amerika Serikat.

Menurut perspektif ekonomi syariah, penyebab utama krisis yang terjadi saat ini adalah (satanic trinity), yaitu trinitas setan yang terdiri dari riba, maysir dan gharar. Sistem dan pasar keuangan dan capital market di Amerika telah didominir oleh setan tiga serangkai atau trinitas setan (satanic trinity) yang terdiri dari (1) bunga (riba) dalam transaksi keuangan; Praktek riba terlihat jelas pada bisnis derivatif yang sangat laris di pasar uang dan pasar modal AS. (2) Produk derivatif yang tak jelas underline transactionnya itu disebut juga dengan gharar, karena ketidakjelasan produk riilnya. Produk gharar ini disamarkan dengan istilah produk hybrids dan derivatives yang dibungkus dan dikemas dengan mekanisme securitisation insurance atau guarantee; (3) Perilaku dan praktek spekulatif atau untung-untungan (maisir) yang juga tanpa dilandasi transaksi riil.

Sebenarnya, krisis keuangan global dapat dibedakan kepada dua macam krisis, Pertama krisis di pasar modal (capital market) dan kedua krisis di pasar uang (money market). Kedua bentuk financial market itu membuka peluang kepada transaksi dengan tingkat spekulasi yang tinggi. Keduanya menggunakan bunga sebagai instrumen. Keduanya juga memisahkan sektor moneter dan sektor riel sebagaimana diajarkan sistem ekonomi kapitalisme.

Di capital market konvensional, sangat dimungkinkan terjadinya short selling dan margin trading. Kegiatan bisnis tersebut sangat sarat dengan motif spekulasi. Sementara di pasar uang terdapat dua kesalahan besar yang berakibat kepada krisis, pertama, kegiatan transaksi valas yang bermotif spekulasi, baik spot maupun bukan, seperti forward, options dan swaps transaction. Kedua bahwa yang menjadi standar keuangan international adalah fiat money.

Islam yang berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah dari langit tentu memiliki ajaran yang unggul, rasional dan ilmiah dan empiris. Menurut ekonomi Islam, sektor moneter dan sektor riil tidak boleh terpisah, sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalisme keduanya terpisah secara diametral. Akibat keterpisahan itu, maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang.

Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.

Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi pada kedua pasar keuangan di atas, yaitu di pasar modal dan pasar valas (money market) sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit yang bernama balon economy (bubble economy). Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.

Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS.

Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18-8-2000).

Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options. Sementara itu menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam ransaksi valas sudah mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meningalkan sektor riel. Dengan demikian balonnya semakin besar dan semakin rawan mengalami letupan. Ketika balon itu meletus, maka terjadilah krisis seperti yang sering kita saksikan di muka bumi ini.

Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.

Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel.



(Sumber: Agustianto/Kantor Berita Ekonomi Syariah)

Larangan Atas Riba, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Firman Allah : “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39).Menurut pandangan kebanyakan manusia, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Anggapan tersebut telah menjadi keyakinan kuat hampir setiap orang, baik ekonom, pemeritah maupun praktisi. Keyakinan kuat itu juga terdapat pada inetelektual muslim terdidik yang tidak berlatar belakang pendidikan ekonomi. Karena itu tidak aneh, jika para pejabat negara dan direktur perbankan seringkali bangga melaporkan jumlah kredit yang dikucurkan untuk pengusaha kecil sekian puluh triliun rupiah. Begitulah pandangan dan keyakinan hampir semua manusia saat ini dalam memandang sistem kredit dengan instrumen bunga. Itulah pandangan material (zahir) manusia yang seringkali terbatas.Pandangan umum di atas dibantah oleh Allah dalam Al-quran surah Ar-Rum : 39,

“ Apa “Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39).
Ayat ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Pandangan Al-quran ini secara selintas sangat kontras dengan pandangan manusia kebanyakan. Manusia menyatakan bahwa pinjaman dengan sistem bunga akan meningkatkan ekonomi masyarakat, sementara menurut Allah, pinjaman dengan sistem bunga tidak membuat ekonomi tumbuh dan berkembang.Mengapa Allah mengatakan pinjaman kredit dengan sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi ?. Di sinilah keterbatasan akal (pemikiran) sebagian besar manusia. Mereka hanya memandang secara dangkal, kasat mata dan material (zahir) belaka. Dari sinilah muncul konsep meta-ekonomi Islam, yaitu, sebuah pandangan ekonomi yang berada di luar akal material manusia.
Dampak Bunga.
Harus dicatat, bahwa Al-quran membicarakan riba (bunga) dalam ayat tersebut dalam konteks ekonomi makro, bukan ”hanya” ekonomi mikro. Bahkan sisi ekonomi makro jauh lebih besar. Kesalahan manusia kapitalis, termasuk ahli agama Islam yang tak berlatar belakang ekonomi, adalah menempatkan dan membahas riba dalam konteks ekonomi mikro semata.

Membicarakan riba dalam konteks ekonomi makro adalah mengkaji dampak riba terhadap ekonomi masyarakat secara agregat (menyeluruh), bukan individu atau perusahaann (institusi). Sedangkan membicarakan riba dalam lingkup mikro, adalah membahas riba hanya dari sisi hubungan kontrak antara debitur dan kreditur. Biasanya yang dibahas berapa persen bunga yang harus dibayar oleh si A atau perusahaan X selaku debitur kepada kreditur. Juga, apakah bunga yang dibayar debitur sifatnya memberatkan atau menguntungkan. Ini disebut kajian dari perspektif ekonomi mikro.Padahal dalam ayat, Al-Quran menyoroti praktek riba yang telah sistemik, yaitu riba yang telah menjadi sistem di mana-mana, riba yang telah menjadi instrumen ekonomi, sebagaimana yang diyakini para penganut sistem ekonomi kapitalisme.

Dalam sistem kapitalis ini, bunga bank (interest rate) merupakan jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional.Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian secara luas.

Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.
Pertama, Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi punca utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.

Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Data IMF menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi sejak tahun 1965 sampai hari ini.
Ketiga,

Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka pengangguran

Keempat,

Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam, sebagaimana ditulis Dhiayuddin Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan Kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus.

Kelima,

Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.
Kenam,

dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu, tetapi juga berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbakan konvensional yang telah dibantu dengan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI. Pembayaran bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun. Seharusnya APBN kita surplus setiap tahun dalam mumlah yang besar, tetapi karena sistem moneter Indonesia menggunakan sistem riba, maka tak ayal lagi, dampaknya bagi seluruh rakyat Indonesia sangat mengerikan .

Dengan fakta tersebut, maka benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem bunga tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya, maka lanjutan ayat tersebut pada ayat ke 41 berbunyi :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia. Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Dalam pendangan seorang banker atau debitur, sistem bunga yang mereka terapkan yang dilandasi saling ridha dan terkesan tidak ada saling menzalimi di antara mereka, dianggap sebagai sebuah sistem yang wajar dan tidak menjadi masalah. Bahkan bersifat positif-konstruktif bagi masyarakat. Inilah pandangan ekonomi mikro yang sering menjerumuskan banyak orang yang akalnya terbatas.

Begitulah, akal manusia sering kali tidak bisa menjangkau apa yang dibalik realitas ekonomi. Padahal sistem riba itu justru merusak dan sama sekali tidak membawa pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya. Inilah yang dijelaskan Al-Quran dalam surah Ar-Rum ayat 39 di atas. Inilah konsep metaekonomi Islam dalam larangan riba.


(Sumber: Agustianto/Percikan Pemikiran Islam)

Dosa Riba Menurut Al-Qur'an dan Sunnah, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa seluruh ahli ekonomi Islam dunia, sejak tahun 1973 sampai sekarang telah sepakat bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah Islam, dan hukum mengambilnya adalah haram. Menurut penelitian Prof.Dr.M.Akram Khan, Prof, Dr. M.Umer Chapra, Prof.Dr.Yusuf Qardhawi, Prof. Muhammad Ali Ash-Shobuni, dan sejumlah ulama lainnya, kesepakatan itu telah menjadi ijma’ ulama dunia. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank.
Pada tahun 1976, sejumlah 300 pakar ekonomi dan ulama dunia sepakat tentang keharaman bunga bank yang mereka putuskan pada Konferensi I Ekonomi Islam Internasional di Jeddah. Bahkan sebelumnya, yakni tahun 1973, seluruh ulama OKI sepakat tentang keharaman bunga bank tersebut. Konferensi internasional yang dihadiri ratusan pakar ekonomi Islam dunia itu telah berulang kali digelar di berbagai negara. Puluhan konferensi, seminar dan simposium internasional itu menyepakati secara bulat tentang keharaman bunga bank.

Jadi, kalau seluruh ahli ekonomi Islam se-dunia sepakat tentang keharaman bunga bank, dikuatkan lagi oleh ulama OKI dan Rabithah Alam Al-islami serta Majma’ Buhuts (lembaga fatwa) di seluruh dunia, tetapi anehnya, mengapa ada segelintir orang yang tak ahli tentang ekonomi Islam berkomentar membantah keharaman bunga bank. Itu adalah sebuah keanehan dan secara keilmuan cukup memalukan. Hal ini jelas apabila kita ambil sindiran Alquran tentang mereka yang tak ahli dalam bidang itu. Firman Allah,

“Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah untuk urusan itu, maka ikutilah syari’ah itu, jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.

Menurut ayat ini, orang yang tidak mengikuti syari’ah (termasuk ekonomi syari’ah), adalah karena dua alasan. Pertama, Mereka mengikuti hawa nafsu, karena terganggu kepentinga dunianya, 2. Mereka memang tidak tahu tentang syari’ah itu (dalam hal ini ekonomi dan ilmu moneter syari’ah).
S

eorang Professor muslim sekalipun, tapi tidak mendalami ilmu moneter, mereka seringkali tidak tahu tentang praktek moneter dan dampaknya dalam ekonomi makro. Kalau mereka telah mendalami itu, bisa dipastikan mereka akan mengharamkan bunga, sebagaimana ratusan pakar ekonomi Islam lainnya.

Dosa Riba.
Dalam Islam, riba termasuk dosa besar yang harus dijauhi. Sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda,

اجتنبوا السبع الموبقات : قالوا يا رسول الله وما هن ؟ قال : الشرك بالله والسحر و قتل النفس التى حرم الله الا بالحق و أكل الربا وأكل مال اليتيم والتولى يوم الزحف و قذف المحصنات المؤمنات الغافلات (متفق عليه)

“Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).
Dalam hadits riwayat muslim bahwa Jabir berkata,

لعن رسول الله صلعم أكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهديه و قال : سواء(رواه مسلم)
“Rasulullah melaknat dan mengutuk orang memakan riba (kreditur) dan orang yang memberi makan orang lain dengan riba (debitur). Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transaksi riba dan saksi-saksinya. Nabi SAW bersabda, “Mereka semuanya sama”.(H.R.Muslim)

Selanjutnya, Abbdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,
عن ابن مسعود ان النبي صلعم قال : الربا ثلاثة وسبعون بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه (رواه الحاكم)

“Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan ialah seorang yang menzinai ibunya sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Hakim).
اربع حق على الله أن لا يدخلهم الجنة ولا يذيقهم نعيمها : مدهن الخمر و أكل الربا وأكل مال اليتيم بغير حق و العاق لوالديه (رواه الحاكم)

Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).

Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,

الدرهم يصيبه الرجل من الربا اعظم عند الله من ثلاثة وثلاثين زينة يزنيها فىالاسلام (رواه الطبرانى

Satu dirham riba yang diambil seseorang, maka dosanya di sisi Allah lebih besar dari tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannnya dalam islam”.(H.R. Darul Quthny)

ان الدرهم يصيبه الرجل من الربا أعظم عند الله في الخطيئة من ست و ثلاثين زينة يزنيها الرجل و أن أربى الربا عرض الرجل المسلم ( رواه ابن أبي الدنيا و البيهقي)

Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda,”Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya di sisi Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar-besar riba ialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (H.R. Baihaqi dan Ibnu Abu Dunya).

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda,
اذا ظهر الربى والزنى في قرية فقد أحلوا بعذاب الله (رواه الحاكم)

“Apabila zina dan riba telah merajalela dalam suatu negeri, maka sesunggguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepada mereka”.(H.R. Hakim)

Amru bin Ash mendengar langsung Nabi mengatakan,

ما من قوم يظهر فيهم الربا الا أخذوا با لسنة وما من قوم يظهر فيهم الرشا الا أخذو با لرعب ( رواه أحمد)

“Bila riba merajalela pada suata bangsa, maka mereka akan ditimpa tahun-paceklik (krisis ekonomi). Dan bila suap-menyuap merajalela, maka mereka suatu saat akan ditimpa rasa ketakutan”. (H.R. Ahmad).

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, bahwa Nabi SAW bersabda,

اياك و الذنوب التى لا تغفر : الغلول فمن غل شيئا اوتي به يوم القيامة و أكل الربا بعث يوم القيامة مجنونا يتخبط (رواه الطبراني)

Jauhilah dosa-dosa yang tak terampunkan, yaitu, pertama, curang (menipu &korupsi), siapa yang curang, maka pada kiamat nanti, akan didatangkan kepadanya siksa. Kedua, pemakan riba, barang siapa memakan riba, maka ia dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan membabi buta. (H.R. Thabrani).

ما أحد أكثر من الربا الا كان عاقبة أمره الى قلة ( رواه ابن ماجة و الحاكم)

Abdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Setiap orang yang banyak makan riba, maka urusannya berakibat pada kekurangan”.(H.R. Ibnu Majah dan Hakim).

Maksudnya, pemakan riba selalu merasa kurang karena rakus pada uang dan harta. Sedangkan uangnya tidak diberkati Allah.Hal ini telah difirmankan Allah dalam al-qur’an,
“Allah mencabut berkah dari riba dar menyuburkan (memberkati) sedeqah”. (Q.S. 2:276).

Dalam beberapa hadits dijelaskan, bahwa berkembangnya riba merupakan tanda-tanda akhir zaman (kiamat). Hal ini menunjukkan bahwa riba termasuk dosa besar yang harus dijahui ummat Islam. Dua hadits dibawah in menginformasikan kepada kita hal diatas.
ليأتين على الناس زمان لا يبقى منهم احد من الربا فمن لم يأكله أصابه من غباره (ابو داؤد)

Abu Hurairah memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,”Sungguh akan datang suatu zaman atas manusia, dimana tak seorang pun yang hidup saat itu, kecuali makan riba. Barang siapa yang tidak memakannya, akan terkena debunya”.(H.R.abu Daud dan ibnu Majah)

بين يدي الساعة يظهر الربا و الزنا و الخمر (رواه الطبراني)

Ibnu Mas’ud meriwayat bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menjelang kiamat akan merajalela zina, riba dan minuman keras”. (H.R.Thabrani).

Demikianlah di antara dosa-dosa riba menurut Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, ummat Islam wajib mendepositokan atau menabungkan uangnya di Bank Islam, agar terhindar dari riba yang diharamkan.
Hijrah dari Sistem Riba ke Sistem Syari’ah

Dalam kenyataanya, sistem moneter dunia sudah dikuasai oleh sistem bunga sejak berabad-abad lamanya. Sistem ribawi kapitalisme itu, jelas tidak sesuai dengan syari’ah Islam. Karena itu seluruh ulama dunia pada saat ini telah sepakat bahwa sistem bunga adalah bentuk riba yang diharamkan (Hasil Konferensi Ulama OKI 1971).

Saat ini, semua profesor dan doktor ekonomi Islam yang belajar di Barat yang jumlahnya mencapai ratusan orang itu, telah ijma’ tentang keharaman bunga dan menunjukkan solusinya, yakni sistem bank syariah tanpa bunga.

Para ulama dahulu yang sebahagian kecil membolehkan bunga, kini semuanya mencabut fatwanya, sebab ternyata banK tanpa bunga bisa berkembang dengan baik malah lebih unggul dari bank ribawi.

Oleh karna itu, seluruh uang umat Islam, harus memasukkan, menyimpan atau mendepositokan uangnya di bank syari’ah, agar terjamin kehalalannya dan lembaga bank Islam semakin kuat serta ekonomi umat menjadi meningkat.

Dengan demikian Ongkos Naik Haji, sangat tidak layak disetor ke bank yang menerapkan sistem riba, apalagi uang mesjid dan majlis ta’lim. Semuanya seharusnya dikelola secara syari’ah Islam, agar hasilnya halal thayyiban.

Bila riba masih kita amalkan, maka dosa-dosa besar tersebut semakin melilit kita. Bagai mana mungkin Allah memenuhi permohonan dan do’a kita sedang kita membuat dosa besar yang melebihi zina. Bagai mana mungkin Allah memabrurkan haji kita, sedangkan biaya haji diputar secara ribawi. Maka, sudah saatnya kita berhubungan dengan lembaga bank dan keuangan syari’ah baik menabung, deposito, giro, setoran haji, dsb.

IIIa Ma Qad Salaf

Dalam pemikiran umat Islam mungkin timbul pertanyaan, bagaimana perbuatan kami selama ini yang menabung, mendepositokan dan menyetor ONH dengan sistem riba ?Alqur’an memberikan jawaban. “IIIa Ma Qad Salaf”. Maksudnya, urusan pada masa lalu, itu adalah persoalan masa lalu, “Wa Amruhu Illallah”, yakni, urusannya diserahkan kepada Allah yang Maha pengampun.Nanti jangan diulangi lagi.

Tegasnya, perbuatan masa lalu jangan menjadi pikiran, Insya Allah, Dia akan memaafkannya, yang penting sekarang adalah hijrah ke sistem syari’ah sembari minta ampun kepada Allah. Jangan buang-buang waktu lagi. Tetapi ingat!, Allah berfirman, “Siapa yang mengulangi lagi praktek riba, maka ia kekal dalam neraka”,(Q.S. 2:275)

Membangun Moneter Islam

Oleh karena sistem bunga tak sesuai dengan syari’ah, maka seluruh ummat Islam harus berusaha keras mengubah sistem moneter dan sistem kapitalisme ke sistem syari’ah. Perubahan ini tidak saja dalam bentuk konversi (pindah) dari sistem konvensional menjadi syari’ah, seperti yang dilakukan bank syari’ah Mandiri, BNI 46, bank IFI, dll, tetapi juga membangun lembaga bank syari’ah yang bebas riba, seperti BPR syari’ah, .

(Sumber: Agustianto/Percikan Pemikiran Ekonomi Islam)

Perdagangan Dalam Al-Qur'an, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Perdagangan atau bisnis adalah suatu yang terhormat di dalam ajaran Islam, karena itu cukup banyak ayat Al-quran dan hadits Nabi yang menyebut dan menjelaskan norma-norma perdagangan. C.C. Torrey dalam The Commercial Theological Term in the Quran menerangkan bahwa Alquran memakai 20 terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang sebanyak 720 kali
Penghargaan Nabi Muhammad terhadap perdagangan sangat tinggi, bahkan beliau sendiri adalah seorang aktivis perdagangan mancanegara yang sangat handal dan pupolis. Sejak usia muda reputasinya dalam dunia bisnis demikian bagus, sehingga beliau dikenal luas di Yaman, Syiria, Yordana, Iraq, Basrah dan kota-kota perdagangan lainnya di Jazirah Arab. Kiprah Nabi Muhammad dalam perdagangan banyak dibahas oleh Afzalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader.
Dalam berbagai sabdanya ia seringkali menekankan pentingnya perdagangan dalam kehidupan manusia. Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Ashbahani diriwayatkan sebagai berikut :

ان أطيب الكسب كسب التجار الذين اذا حدثوا لم يكذبوا واذا وعدوا لم يخلفوا
واذا ائتمنوا لم يخونوا واذا اشتروا لم يذموا واذا باعوا لم يمدحوا واذا كان
عليهم لم يمطلوا واذا كان لهم لم يعسروا

Artinya, Dari Mu’az bin Jabal, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan yang apabila mereka berbicara tidak berdusta, jika berjanji tidak menyalahi, jika dipercaya tidak khianat, jika membeli tidak mencela produk, jika menjual tidak memuji-muji barang dagangan, jika berhutang tidak melambatkan pembayaran, jika memiliki piutang tidak mempersulit” (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani).
Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad saw juga mengatakan,

عليكم بالتجارة فإن فيها تسعة أعشار الر زق (رواه أحمد)

Artinya, Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki (H.R.Ahmad).

Namun demikian, ada aturan-aturan syariah yang harus diikuti dalam kegiatan perdagangan agar tujuan yang sesungguhnya dari perdagangan itu dapat tercapai, yaitu kesejahteraan manusia di duniawi dan kebahagian akhirat, yang disebut Umar Chapra dengan istilah falah . Tanpa mengikuti aturan syariah, kegiatan perdagangan akan membawa ketimpangan dan chaos dalam kehidupan manusia.
Makalah ini akan membahas ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan perdagangan dan keuangan yang terkait dengan bisnis, karena bagaimanapun kegiatan perdagangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari persoalan keuangan, seperti keharusan adanya pencatatan keuangan (akuntansi) yang baik dan akuntatable (bisa dipartanggung jawabkan).
Makalah ini memilih satu ayat utama sebagai obyek kajian dan beberapa ayat lainnya yang relevan sebagai pendukung. Kajian ini juga tentunya diperkuat dengan hadits-hadits Nabi dan disertai dengan mengutip beberapa pendapat ulama.

B.Ayat-Ayat Al-quran tentang Perdagangan
Pengungkapan perdagangan dalam Al-quran ditemui dalam tiga bentuk, yaitu tijarah, bay’ dan Syira’.
Kata التجارة- adalah mashdar dari kata kerja (تجر يتجر تجرا و تجارة) yang berarti (باع dan شرى ’) yaitu menjual dan membeli. Kata tijarah ini disebut sebanyak 8 kali dalam Alquran yang tersebar dalam tujuh surat, yaitu surah Albaqarah :16 dan 282 , An-Nisak : 29, at-Taubah : 24 , An-Nur:37 , Fathir : 29 , Shaf : 10 dan Al-Jum’ah :11 . Pada surah Al-Baqarah disebut dua kali, sedangkan pada surah lainnya hanya disebut masing-masing satu kali. Di antara delapan ayat tersebut hanya 5 ayat yang berkonotasi bisnis material. Sedangkan 3 ayat lagi makna tijarah tidak berkonotasi bisnis (perdagangan) yang riel, tetapi dalam makna majazi, yaitu Al-baqarah 16, Fathir: 29 dan Shaf : 10

Sedangkan kata ba’a باع) ) disebut sebanyak 4 kali dalam Al-quran, yaitu 1). Surah Al-Baqarah :254 , 2). Al-Baqarah : 275, 3). Surah Ibrahim 31 dan 4. Surah Al-Jum’ah :9 .

Selanjutnya term perdagangan lainnya yang juga dipergunakan Al-quran adalah As-Syira. Kata ini terdapat dalam 25 ayat. Akan tetapi setelah diteliti, ternyata dari 25 ayat tersebut hanya 2 ayat saja yang berkonotasi perdagangan dalam konteks bisnis yang sebenanya, yaitu pada ayat yang mengkisahkan Nabi Yusuf yang dijual oleh orang menemukannya yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 21 dan 22 . Oleh karena itu kata syira sama sekali tidak disinggung dalam makalah ini.
Di antara sekian banyak ayat Al-Quran yang membicarakan perdagangan, makalah ini hanya menjadikan satu ayat saja sebagai ayat utama. Sedangkan ayat-ayat lainnya merupakan ayat-ayat pendukung. Ayat utama tersebut ialah surah An-Nisak ayat 29. Pilihan terhadap kedua ayat ini, karena ayat pertama (An-Nisak 29), berisi tentang larangan memakan harta dengan cara bathil dan keharusan melakukan perdagangan yang didasarkan pada kerelaan. Sedangkan ayat-ayat lainnya merupakan ayat pendukung. Di antara ayat pendukung tersebut ialah surah Al-Baqarah 282 yang berisi tentang konsep pencatatan (akuntansi) dalam kegiatan perdagangan.

ياأيها الذين ءامنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما

Artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu, janganlah kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah sangat menyayangi kamu”.

Tafsir Mufradat :
Ayat ini menurut Ali Al-Sayis dengan tegas melarang setiap orang beriman memakan harta dengan cara yang bathil. Memakan harta dengan bathil ini mencakup dua pengertian, yaitu memakan harta sendiri dan memakan harta orang lain. Cakupan ini difahami dari kata ”Amwalakum” (( أموالكم yang artinya harta kamu.
Memakan harta sendiri dengan cara bathil misalnya menggunakannya untuk kepentingan maksiat. Sedangkan memakan harta orang lain dengan bathil, adalah memakan harta hasil riba, judi, kecurangan dan kezaliman, juga termasuk memakan harta dari hasil perdagangan barang dan jasa yang haram, misalnya khamar, babi, bangkai, pelacuran (mahr al-baghi), tukang tenung, paranormal, dukun (hilwan al-Kahin) dsb. Semua ini adalah perdagangan yang rusak (fasid) yang dilarang dalam Islam.
Menurut An-Nadawi, bathil itu adalah segala sesuatu yang tidak dihalalkan syari’ah, seperti riba, judi, korupsi, penipuan dan segala yang diharamkan Allah . Menurut Al-Jashshah, termasuk memakan harta dengan bathil adalah memakan harta dari hasil seluruh jual beli yang fasid, seperti jual beli gharar. Sementara itu menurut Tafsir Al-Qasimi, bathil ialah sesuatu yang tidak dibolehkan syari’ah, seperti riba, judi, suap dan segala cara yang diharamkan.
Dalam menafsirkan surah An-Nisak : 29, ”memakan harta dengan jalan bathil ” ini, Ibnu ’Arabi mengatakan, bahwa paling tidak ada 56 jenis dan bentuk perdagangan yang tidak sah dan dilarang dalam Islam.

ما لا يصح ستة و خمسون معنى نهي عنها

Perdagangan yang tidak sah itu itu antara lain, jual beli gharar, memperdagangkan barang-barang haram yang tidak bernilai menurut syara, seperti khamar, bangkai darah, berhala, salib, anjing piaraan, bisnis prostitusi (mahr al-baghi), jual beli tipuan (bay’ al ghasysyi), bay’ al muqtaat atau jual beli barang sejenis dengan kuantitas yang berbeda, atau jual beli barang yang tak sejenis tetapi kredit (nasi’ah), ba’i munabazah , Semua ini kata Ibnu ’Arabi termasuk kepada riba. (Wa hazda kulluhu dakhilun fi bay’ ar- riba).

Demikian juga dua jual beli dalam satu jual beli, bay’ al mulamasah , dan menjual sesuatu yang barangnya tidak ada di tangan, jual beli tanaman yang belum jelas hasilnya (ijon), bisnis paranormal, (hilwan kahin), jual-beli barang yang tidak bisa diserahkan, dan membeli sesuatu yang telah dibeli oleh orang lain. Semua ini merupakan perdagangan bathil.
Selanjutnya yang sangat penting diperhatikan adalah bahwa obyek yang diperdagangkan harus halal dan thayyib. Perintah mengkonsumsi produk yang halal dan thayyib berulang kali disebut dalam Alquran, antara lain Surah Albaqarah : 268, Al-Maidah : 91, Al-Anfal 69 dan An-Nahal 114. Menurut Yusuf Ali, kata thayyib menggunakan tiga frasa untuk menyatakan nilai-nilai etika dan spiritual dalam term halal dan thayyib, yaitu, 1. Barang-barang yang baik, berkualitas, 2. barang-barang yang suci (tidak najis), 3, Barang-barang yang indah. Dengan demikian, barang-barang yang dikonsumsi menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian dan keindahan.
Dalam memahami surah an-Nisak 29 ini Muhammad Husein Ath-Thabathaba’iy melihat bahwa kalimat ولا تأكلوا أموالكم yang dikait dengan بينكم memberi isyarat larangan memakan harta dengan cara yang curang. Sedangkan maksud bil bathil adalah perdagangan yang membawa kerusakan dan kehancuran. Jadi bila perdagangan itu bersih dari kebatilan dan tipuan akan menimbulkan ketentraman masyarakat, bukan hanya terhadap pembeli dan penjual, bahkan lebih dari itu kepada masyarakat secara keseluruhan.
Tijarah ialah jual beli dan sejenisnya yang berkaitan dengan pengembangan harta.Tijarah ada tiga macam, yaitu, 1. ’ain dengan ’ain, inilah jual beli kontan 2.’ain dengan hutang (salam dan istisna), 3. jual beli ’ain dengan manfa’at, ini disebut ijarah/jasa.

Maksud ayat عن تراض منكم, ialah masing-masing pihak rela dan suka dengan suatu transaksi bisnis yang mereka lakukan.

Kata tijarah dalam dalam ayat ini, bisa dibaca marfu’ dan bisa juga manshub. Jika dibaca rafa’/marfu’, maka fi’il ”yakunu/ kana” yang ada dalam kalimat itu statusnya adalah fi’il tam, bukan fi’il naqish. Maka, dhamir mustatir yang terdapat pada kata ”takun” kembali kepada kata Amwal (harta), sehingga kalimatnya menjadi, ”Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan bathil, kecuali ”harta” yang kamu peroleh dari hasil perdagangan yang didasarkan kerelaan di anatara kamu”.
Apabila tijarah dibaca marfu’, maka kana/takun itu menjadi fi’il tam, Sehingga kalimatnya menjadi, janganlah kamu bermaksud memakan harta dengan cara yang bathil, kecuali perdagangan yang dilaksanakan saling ridha di antara kamu.
Larangan memakan harta sesama secara bathil dalam ayat itu dipertentangkan Allah dengan perdagangan suka sama suka. Hal itu berarti bila memakan harta sesama secara bathil dilarang, maka perdagangan atas dasar suka sama suka diperintahkan, sesuai dengan kaedah.

إذا أمر الله بشيئ كان ناهيا عن ضده و إذا نهى عن شيئ كان أمرا بضده
Artinya, Bila Allah memerintahkan sesuatu, berarti larangan (mengerjakan) lawannya, dan bila dia melarang sesuatu berarti perintah (melakukannya).

Selanjutnya, kata ’an-taradhin direalisasikan dalam bentuk ijab dan qabul, yaitu kata-kata penerimaan dan pembelian dari penjual dan pembeli. Imam Syaf’ii kata Al-Qasimi, juga merumuskan ’an taradhin itu menjadi lapaz ijab dan qabul, karena ridha itu sebenarnya adalah pekerjaan hati, sedangkan yang mengetahui suara hati adalah Allah, maka dalam konteks hukum syari’ah, ridha harus diinterpretasi menjadi lapaz ijab dan qabul .

Khiyar
Kondisi suka sama suka (’an taradhin) antara pembeli dengan pedagang itu diwujudkan di tempat majlis berlangsungnya transaksi dagang tersebut. Dalam hal ini menurut ajaran Islam hak asasi seseorang sangat diihormati. Kemauan adalah hak asasi si pembeli, maka ia tidak boleh dipaksa membeli sesuatu. Kadang-kadang seperti diungkapkan Sayyid Sabiq, mungkin terjadi salah satu pihak melakukan transaksi dengan tergesa-gesa. Setelah transaksi berlangsung nampak adanya keperluan yang menuntut pembatan transaksi tersebut. Bila tidak dibatalkan tentu akan merusak kerelaan dari yang bersangkutan, karena jual beli itu merugikannya. Dalam hal ini si pembeli dapat membatalkan transaksi jual beli selagi ia masih berada di tempat transaksi berlangsung. Ketentuan ini disebut dengan khiyar majlis. Sabda Rasulullah saw, ’ Dari Abdullah bin Harits katanya, aku mendengar Hakim bin Hazam Ra bahwa Nabi saw bersabda. ”Dua orang yang melaksanakan jual beli boleh melakukan khiyar selama mereka belum berpisah Jika keduanaya benar dan jelas, keduanya diberkati dalam jual beli mereka. Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, Tuhan akan memusnahkan keberkatan jual beli merek”a (H.R.Bukhari-Muslim)
Pembatalan transaksi juga bisa dilakukan oleh pembeli bila dia menemukan sesuatu cacat pada komoditas yang dia beli. Ini disebut dengan khiyar aib. Penemuan cacat barang tersebut ditemukan pembeli setelah transaski berlangsung. Tetapi bila cacat tersebut diketahui sebelum transakssi dan si pembeli tetap membelinya juga, maka transaksi tersebut tidak dapat dibatalkan lagi sebab si pembeli itu dipandang rela dengan barang tersebut.
Begitu juga si pembeli dapat membatalkan transaksi bila dia tidak mendapatkan syarat-syarat yang telah disepakati bersama oleh pembeli dan penjual sebelum berlangsungnya transaksi, yang disebut dengan khiyar syarat. Adanya tiga macam khiyar ini bertujuan agar kerelaan pembeli untuk melakukan transanski itu memang betul-betul terwujud

Munasabah ayat
Memakan harta orang lain dengan cara yang bathil adalah suatu kezaliman, Menzalimi orang lain dalam ekonomi, berarti merusak dan membunuh kehidupannya, karena itu Allah mengkaitkan larangan memakan harta dengan batil dengan larangan membunuh diri kamu. Maka, lakukanlah perdagangan yang fair, tidak zalim , yang disebut Al-quran dengan istilah ’an taradhin.
Dengan demikian, larangan memakan harta dengan cara yang bathil dalam ayat ini, dikaitkan dengan larangan membunuh diri kamu (wa la taqtulu anfusakum). Munasabah ayat ini menurut Ath-Thabari dan Al Sayis adalah bahwa kamu adalah ummat yang satu, maka jangan kamu membunuh dan menzalimi saudaramu sendiri, karena itu sama halnya dengan membunuh diri kamu sendiri. Al-Qasimi menafsirkannya, Janganlah kamu membunuh orang dari jenismu sendiri, karena semua kamu sesungguhnya adalah diri yang satu (Nafsun Wahidah).
Adapun penggalan ayat Innallaha Kana bi kum Rahima, maksudnya Sesungguhnya Allah Saw senantiasa menyayangi (merahmati) kamu. Munasabah ayat ini dengan penggalan ayat sebelumnya, ialah janganlah kamu saling membunuh, karena sesungguhnya Allah senantiasa menebarkan kasih sayangnya kepada kamu.
Ayat 29 surah An-Nisak ini sesungguhnya tidak hanya berisi tentang syarat sahnya perdagangan, yaitu kerelaan para pihak (’an taradhin), tetapi juga mengandung makna dan interptretasi yang luas. Larangan memakan harta dengan cara yang bathil mengharuskan kita untuk mengetahui apa saja cakupan bisnis yang bathil itu. Oleh karena itu perlu juga dipaparkan di sini bentuk-bentuk perdagangan yang bathil dalam Islam.
Di atas tadi memang telah disebutkan secara singkat tentang maksud memakan harta dengan cara yang bathil. Tetapi belum jelaskan secara rinci apa saja dan bagaimana perdagangan yang bathil itu.
Perdagangan yang bathil ini dapat diketahui dari hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, antara lain, bay’ gharar, ba’i tadlis, ihtikar, ba’i najasy, dsb. Berikut akan dijelaskan satu persatu bisnis yang bathil itu.

1. Riba
Al-quran sangat mengecam keras pemakan riba dan menyebutnya sebagai penghuni neraka yang kekal selamanya di dalamnya (QS.2:275). Riba termasuk transaski yang bathil, bahkan hampir semua ulama menafsirkan firman Allah ”memakan harta dengan bathil” itu dengan riba sebagai contoh pertama. Riba secara etimologis berarti pertambahan Secara terminoligi syar’i riba ialah, penambahan tanpa adanya ’iwadh. Secara teknis, maknanya mengacu kepada premi yang harus dibayar si peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan pinjaman pokok yang disyaratkan sejak awal. Penambahan dari pokok itu disyaratkan karena adanya nasi’ah (penangguhan).

2. Talaqqi Rukban
Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong pedagang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). Praktek ini juga termasuk makan harta dengan cara yang bathil, karena si pedagang desa tidak tahu harga pasar yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa
”Rasulullah Saw melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di pasar” (talaqqi rukban) (H.R.Bukhari)
Larangan tersebut karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi para pedagang.
Substansi dari larangan talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang. Namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak, dimana yang satu pihak memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu berapa harga di pasar sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang lebih, maka terjadilah penzaliman oleh pedagang kota terhadap petani yang dari desa. Hal inilah yang dilarang.


Pada gambar di atas dapat dilihat bagaimana dampak dari tindakan talaqqi rukban dan pengaruhnya terhadap pembentukan harga. Dengan adanya pencegatan dari luar kota untuk melakukan transasksi di dalam kota, maka kurva penawaran Sx akan membelok vertikal menjadi Str. Keseimbangan baru akan terbentuk pada saat perpotongan antara Sx dan Str. Sehingga harga di kota akan mengalami peningkatan dari P* menjadi P*tr dan jumlah barang X yang tersedia di pasar adalah Q*tr. Inilah bukti bahwa tindakan talaqqi rukban tidak hanya menzalimi petani akan tetapi telah merusak keseimbangan pasar berada pada level yang lebih rendah
Praktek talaqqi rukban, memang tidak begitu banyak terjadi saat ini, sebab alat komunikasi telah berkembang sangat canggih, seperti hand phone dan telephon, sehingga informasi harga dengan mudah diketahui. Meskpun demikian, substansi larangan itu menjadi tetap penting untuk diperhatikan, sebab penipuan karena tidak tahu harga masih sering terjadi. Dengan larangan tersebut kata Monzer Kahf, Nabi Saw berusaha sungguh-sungguh memperkecil kesenjangan informasi di pasar. Beliau sangat tegas dalam mengatasi masalah penipuan dan monopoli dalam perdagangan sehingga beliau menyamakan penipuan dan monopoli dengan dosa-dosa yang paling paling besar.

3. Ba’i Najasy
Transaksi najasy diharamkan dalam perdagangan karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga yang lebih tinggi, agar orang lain tertarik pula untuk membelinya. Si Penawar sendiri tidak bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli yang sebelumnya orang ini telah melakukan kesepakatan dengan penjual. Akibatnya terjadi permintaan palsu (false demand). Tingkat permintaan yang terjadi tidak dihasilkan secara alamiyah.

4. Tadlis
Tadlis ialah Transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak unknown to one party.
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi/ditipu karena ada sesuatu yang unknown to one party (keadaan di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini merupakan asymetric information. Unknown to one party dalam bahasa fikihnya disebut tadlis (penipuan), dan dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam:

1. Kuantitas;
2. Kualitas;
3. Harga; dan
4. Waktu Penyerahan


5. Jual Beli Gharar
Jual beli gharar ialah suatu jual beli yang mengandung ketidak-jelasan atau ketidak pastian. Jual beli gharar dan tadlis sama-sama dilarang, karena keduanya mengandung incomplete information. Namun berbeda dengan tadlis, di mana incomplete informationnya hanya dialamin oleh satu pihak saja (onknown to one party), misalnya pembeli saja atau penjual saja, dalam gharar incomplete information dialami oleh dua pihak, baik pembeli maupun penjual. Jadi dalam gharar terjadi ketidakpastian (ketidakjelasan) yang melibatkan dua pihak. Contohnya jual beli ijon, jual beli anak sapi yang masih dalam kandungan induknya, menjual ikan yang ada

di dalam kolam, dsb. Sebagaimana tadlis, jual beli gharar juga terjadi pada empat hal, yaitu : kualitas, kuantitas, harga dan waktu.

6. Ihtikar
Pedagang dilarang melakukan ihtikar, yaitu melakukan penimbunan barang dengan tujuan spekulasi, sehingga ia mendapatkan keuntungan besar di atas keuntungan normal atau dia menjual hanya sedikit barang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, sehingga mendapatkan keuntungan di atas keuntungan normal. Dalam ilmu ekonomi hal ini disebut dengan monopoly’s rent seeking.
Larangan ihtikar ini terdapat dalam Sabda Nabi Saw,

عن معمر ابن عبد الله الن فضلة قال : سمعت رسول الله صلعم يقول : لا يحتكر إلا خاطئ
(رواه الترمذى)

Artinya ; Dari Ma’mar bin Abdullah bin Fadhlah, katanya, Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ”Tidak melakukan ihtikar kecuali orang yang bersalah (berdosa)”. (H.R.Tarmizi)

Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pengertian Khathi’ adalah orang yang salah, durhaka dan orang yang musyrik. Khathi’ adalah orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja yang berbeda dengan orang yang melakukan kesalahan tanpa sengaja. . Pengertian Khathi’ itu dijelaskannya ketika menafsirkan surah Al-qashash (28) ayat 8.

فا لتقطه أل فرعون ليكون لهم عدوا و حزنا ان فرعون و هامن وجنودهما كانوا خاطئين

Artinya, Dan pungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Firaun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang salah.

Di kalangan ulama memang terdapat perbedaan tentang barang yang terlarang untuk dijadikan obyek ihtikar. Namun, tampaknya ada kesamaan persepsi tentang tidak bolehnya ihtikar terhadap kebutuhan pokok. Imam Nawawi dengan tegas mengatakan ihtikar terhadap kebutuhan pokok haram hukumnya. Pendapat An-Nawawi ini sangat rasional, karena kebutuhan pokok menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun harus dicatat, bahwa banyak sekali terjadi pergeseran kebutuhan. Dulu mungkin suatu produk tidak begitu dibutuhkan dan tidak mengganggu kehidupan soaial, tetapi kini produk itu mungkin menjadi kebutuhan utama, minyalnya minyak, obat-obatan, dsb. Karena itu kita tak boleh terjebak kepada klasifikasi barang yang tak boleh ditimbun dan barang yang boleh> Tetapi perlu dirumuskan bahwa setiap penimbunan yang bertujuan untuk kepentingan spekulasi sehingga dampaknya mengganggu pasar dan soial ekonomi, maka maka ia dilarang.

Manajemen Keuangan dalam Perdagangan
Al-quran juga mengajarkan agar dalam kegiatan perdagangan dilakukan pencatatan, yang dalam konteks kekinian disebut akuntansi. Hal ini secara tegas difirmankan Allah dalam Al-quran :

ياأيها الذين ءامنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه وليكتب بينكم كاتب بالعدل ولا يأب كاتب أن يكتب كما علمه الله فليكتب وليملل الذي عليه الحق وليتق الله ربه ولا يبخس منه شيئا فإن كان الذي عليه الحق سفيها أو ضعيفا أو لا يستطيع أن يمل هو فليملل وليه بالعدل واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فرجل وامرأتان ممن ترضون من الشهداء أن تضل إحداهما فتذكر إحداهما الأخرى ولا يأب الشهداء إذا ما دعوا ولا تسأموا أن تكتبوه صغيرا أو كبيرا إلى أجله ذلكم أقسط عند الله وأقوم للشهادة وأدنى ألا ترتابوا إلا أن تكون تجارة حاضرة تديرونها بينكم فليس عليكم جناح ألا تكتبوها وأشهدوا إذا تبايعتم ولا يضار كاتب ولا شهيد وإن تفعلوا فإنه فسوق بكم واتقوا الله ويعلمكم الله والله بكل شيء عليم

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang yang akan ditulis itu). Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika orang yang berhutang itu orang lemah akalnya atau lemah keadaanya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan , maka hendaklah walinya mengimlakkannya dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil. Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada kepastian (tidak menimbulkan keraguan). Tulislah muamalah itu, kecuali muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan yanag demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah seatu kefasikan pada dirimu Dan bertaqwalah kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.

Menurut ulama ayat ini mengharuskan para pihak yang berbisnis untuk menulis utang piutang dan mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang dipercaya, (dalam kondisi tertentu di hadapan notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.
Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedeqah dan berinfaq (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba (275-279) serta anjuran memberi tangguh kepada pihak yang tidak mampu membayar hutangnya itu (ayat 283). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang piutang setelah anjuran dan larangan di atas, mengandung makna tersendiri.
Anjuran bersedeqah dan melakukan infaq di jalan Allah, merupakan pengejawantahan dari rasa kasih sayang yang murni. Selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati. Maka dengan perintah menulis hutang-piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta tercermin keadilan yang didambakan Al-quran, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedeqah dengan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba.
Kata tadayantum yang di atas diterjemahkan dengan muamalah, terambil dari kata dayn. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh tiga huruf tsb selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, ketaatan dan agama. Semuanya menggambarkan hubungan timbal balik atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang piutang.
Perintah menulis utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat Nabi ketika itu, demikian juga yag terbaca pada ayat berikut. Memang sungguh sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis hutang piutang bersifat wajib, karena kepandaian tulis-menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian, ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini setiap orang dapat mengalami kebutuhan hutang-piutang, pinjam dan meminjamkan dan bentuk-bentuk akad muamalah lainnya.
Menurut Al-Jashshas, sebagian ulama berpendapat bahwa pencatatan transaski hutang piutang hukumnya wajib, karena perintah (amar) untuk melakukannya.
Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransksi, dalam arti salah seorang menulis hutang piutang itu, selanjutnya apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya, jika mitra pandai tulis baca. Bila mitranya tidak pandai, maka mereka hendaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil, yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perandangan yang berlaku, tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian dan kejujujuran.
Setelah menjelaskan tentang pencatatan, maka ayat berikutnya dalah menyangkut persaksian, baik dalam tulis menulis maupun lainnya.”Dan persaksikanlah dengan dengan dua orang saksi dari dua orang-laki-laki di antara kamu”. Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah ( شهيدين), bukan (شاهدين). Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar dan dikenal kejujurannya sebagai saksi dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Saksi yang dimaksudkan ayat secara tegas adalah dua orang saksi laki-laki. Jika tidak ada dua orang saksi laki-laki tersebut, maka boleh 1 orang laki-laki dan dua orang perempuan yang kamu setujui menjadi saksi.

Etika dalam Perdagangan
Perdagangan juga tidak boleh sampai melalaikan diri dari ibadah kepada Allah (zikir, shalat dan zakat). Hal ini diungkapkan Allah dalam surah An-Nur ayat 37.

رجال لا تلهيهم تجارة ولا بيع عن ذكر الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة يخافون يوما تتقلب فيه القلوب والأبصار

Artinya, yaitu orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan membayar zakat.

Surah An-Nur dan An-Nisak sama-sama madaniyah. Jika An-Nisak mensyaratkan perdagangan harus saling ridha, maka An-Nur, menjelaskan tentang ketidak bolehan perdagangan itu melalaikan diri dari ibadah kepada Allah.

Ketidak bolehan perdagangan melalaikan diri dari ibadah diperkuat lagi oleh surah Al-Jum’ah ayat 11. yang melarang ummat Islam berdagang (bertransaksi) ketika azan jumat telah dikumandangkan,
إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع

Artinya : …”Apabila kamu telah diseru untuk shalat jum’at, maka tinggalkanlah jual beli”.

Selanjutnya, kecintaan kepada perdagangan tidak boleh melebihi kecintaan kepada Allah, Rasulnya dan jihad fi sabilillah. Dalam surah Al-Jum’ah ini terdapat larangan kepada para pedagang agar tidak melakukan transaksi pada saat azan telah dikumandangkan. Orang-orang di masa Rasul begitu cinta kepada perdagangan harta benda yang cendrung melebihi kecintaan mereka kepada Allah dan Rasulnya, sehingga mereka tega meninggalkan Rasul yang sedang khutbah karena menyambut kedatangan kafilah dagang yang baru datang. Hal itu digambarkan Allah dengan kalimat,

وإذا رأوا تجارة أو لهوا انفضوا إليها وتركوك قائما

Artinya, Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu, sedang berdiri/berkhutbah.

Kesimpulannya, pedagang yanag mengindahkan norma-norma Al-Quran tidak akan melalaikan tugasnya kepada Allah lantaran mengurus dan melakukan aktivitas perdagangan.
Selanjutnya Al-quran mengajarkan prinsip keadilan dalam perdagangan dan melarang perilaku curang, seperti mengurangi takaran dan timbangan. Alquran mengisahkan Nabi Syu’aib agar ummatnya menegakkan keadilan dalam perdagangan, sekaligus menghindari pengurangan takaran dan timbangan, dalam surah Hud-84-85.

وإلى مدين أخاهم شعيبا قال ياقوم اعبدوا الله ما لكم من إله غيره ولا تنقصوا المكيال والميزان إني أراكم بخير وإني أخاف عليكم عذاب يوم محيط(84)ويا قوم أوفوا المكيال والميزان بالقسط ولا تبخسوا الناس أشياءهم ولا تعثوا في الأرض مفسدين
Artinya ; Dan kepada suku Madyan, Allah mengutus saudara mereka bernama Syu’aib, Ia berkata kepada mereka, ”Hai kaumku, sembah kamulah Allah, tidak ada bagi kamu Tuhan selain dia dan janganlah kamu mengurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam kebajikan dan sesungguhnya aku takut jika kamu mendapat azab pada hari kiamat nanti, Hai kaumku, sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi harta manusia sedikitpun dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.

Kalimat Wala tabkhas asy-yaahum, sangat penting untuk dicermati , karena kata bakhasa yang artinya pengurangan. Alquran menegaskan bahwa perbuatan curang seperti itu sama dengan membuat kerusakan di muka bumi. Itulah rahasianya ayat ini diakhiri dengan kalimat Wa la ta’stau fir Ardhi Mufsidin.

Larangan berlaku curang dalam perdagangan juga terdapat dalam surah Al-An’am 152

وأوفوا الكيل والميزان بالقسط

Artinya : ”Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”.

Penutup dan Kesimpulan
Dari keseluruhan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Al-quran cukup banyak menyebut istilah perdagangan dalam berbagai terma seperti tijarah, bay’i, syara’, bahkan juga terma-terma yang lain yang mempunyai hubungan dengan perdagangan dan ekonomi keuangan, seperti dayn, amwal, rizq, syirkah, dharb, dsb.
Konsep perdagangan yang dibicarakan Al-Quran pada umumnya bersifat prinsi-prinsip yang menjadi pedoman dalam perdagangan sepanjang masa, sesuai dengan karakter keabadian Al-Quran. Dengan demikian Al-quran tidak menjelaskan konsep perdagangan secara rinci. Seandainya Alquran berbicara secara rinci dan detail, maka ia akan sulit untuk menjawab perbagai persoalan perdagangan yang senantiasa berubah dan berkembang dalam menghadapi tantangan zaman.
Prinsip-prinsip perdagangan yang diajarkan Alquran ialah :

Pertama : Setiap perdagangan harus didasari sikap saling ridha di antara dua pihak, sehingga
para pihak tidak merasa dirugikan atau dizalimi.

Kedua : Penegakan prinsip keadilan, baik dalam takaran, timbangan, ukuran mata uang (kurs),
dan pembagian keuntungan,

Ketiga : Prinsip larangan riba (interest free)

Keempat: Kasih sayang, tolong menolong dan persaudaraan universal

Kelima: Dalam kegiatan perdagangan tidak melakukan investasi pada usaha yang diharamkan
seperti usaha-usaha yang merusak mental misalnya narkoba dan pornograpi. Demikian
pula komoditas perdagangan haruslah produk yang halal dan thayyib baik barang
maupun jasa.
Keenam: Perdagangan harus terhindar dari praktek spekulasi, gharar, tadlis dan maysir
Ketujuh: Perdagangan tidak boleh melalaikan diri dari beribadah (shalat dan zakat) dan
mengingat Allah.
Kelapan :Dalam kegiatan perdagangan baik hutang-piutang maupun bukan, hendaklah
dilakukan pencatatan yang baik (akuntansi).

(Sumber: Agustianto/Percikan Pemikiran Ekonomi Islam)

Pandangan Islam mengenai Kerja, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Dalam Islam bekerja dinilai sebagai kebaikan, dan kemalasan dinilai sebagai keburukan. Bekerja mendapat tempat yang terhormat di dalam Islam. Dalam kepustakaan Islam, cukup banyak buku-buku yang menjelaskan secara rinci tentang etos kerja dalam Islam.
Dalam pandangan Islam bekerja dipandang sebagai ibadah. Sebuah hadits menyebutkan bahwa bekerja adalah jihad fi sabilillah. Sabda Nabi Saw, “Siapa yang bekerja keras untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia adalah mujahid fi Sabillah”(Ahmad)
Dalam hadits Riwayat Thabrani Rasulullah Saw bersabda : Sesungguhnya, di antara perbuatan dosa, ada yang tidak bisa terhapus oleh (pahala) shalat, Sedeqah ataupun haji, namun hanya dapat ditebus dengan kesungguhan dalam mencari nafkah penghidupan(H.R.Thabrai)
Dalam hadits ini Nabi Saw ingin menunjukkan betapa tingginya kedudukan bekerja dalam Islam, sehingga hanya dengan bekerja keras (sunguh-sungguh) suatu dosa bisa dihapuskan oleh Allah.
Selanjutnya dalam hadits yang lain, Nabi bersabda : Sesungguhnya Allah mewajibkan kamu berusaha/bekerja, Maka berusahalah kamu ! “Sesungguhnya Allah Swt senang melihat hambanya yang berusaha (bekerja) mencari rezeki yang halal.



Berniat untuk bekerja dengan cara-cara yang sah dan halal menuju ridha Allah adalah visi dan misi setiap muslim. Berpangku tangan merupakan perbuatan tercela dalam agama Islam. Umar bin Khattab pernah menegur seseorang yang sering duduk berdo’a di mesjid tanpa mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Umar berkata, Janganlah salah seorang kamu duduk di mesjid dan berdo’a, “Ya Allah berilah aku rezeki”. Sedangkan ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan hujan perak. Maksud perkataaan Umar ini adalah bahwa seseorang itu harus bekerja dan berusaha, bukan hanya bedo’a saja dengan mengharapkan bantuan orang lain.
Buruh yang bekerja secara manual sangat dipuji dan dihargai Nabi Muhammad Saw. Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw pernah mencium tangan orang yang bekerja mencari kayu, yaitu tangan Sa’ad bin Mu’az tatkala melihat tangannya kasar akibat bekerja keras. Nabi seraya berkata : Inilah dua telapak tangan yang dicintai Allah
Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda “Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah” (Hadits Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir )
Lihatlah, betapa Islam memuliakan kerja sebagai sebuah amal yang terpuji, sampai-sampai, kerja itu dapat menghapuskan dosa, kerja dapat menjeput ampunan Allah, seperti halnya puasa dan haji. Selama ini sering kali kita membahas pahala puasa dan haji yang dapat menghapuskan dosa dan meraih ampunan Allah. Ternyata, kerja keras dalam mencari nafkah juga demikian.
Dalam hadits yang lain Nabi mengatakan “ Apabila kamu telah selesai shalat subuh, maka janganlah kamu tidur”.

Hadits ini memerintahkan agar manusia dengan segera bekerja sejak pagi-pagi sekali, agar ia menjadi produktif. Bahkan Nabi SAW secara khusus mendo’akan orang yang bekerja sejak pagi sekali
“Ya Allah, berkatilah ummatku yang bekerja pada pagi-pagi sekali”.
Malas adalah watak yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu Nabi pernah berdo’a kepada Allah agar dilindungi dari sifat lemah dan malas.
“Ya Allah, Sesungguhnya Aku berlindung denganMu dari sifat lemah dan malas”
Al-quran mengemukakan kepada Nabi Saw dengan mengatakan, “Katakanlah (Hai Muhammad, kepada umatmu) : “Bekerjalah !”. Nabi juga diriwayatkan telah melarang pengemisan kecuali dalam keadaan kelaparan.
Monastisisme dan asketisisme dilarang dalam Islam. Monastisisme adalah pandangan atau sikap hidup menyendiri di suatu tempat dengan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Tujuannya hanya untuk bertapa tanpa niat untuk melakukan perubahan dan perbaikan masyarakat. Sedangkan asketisme adalah pandangan atau sikap hidup keagamaan yang menganggap pantang segala kenikmatan dunia atau dengan penyiksaan diri dalam rangka beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Nabi Muhammad saw pernah bersabda, bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk dirinya dan keluarganya lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk beribadat, tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan untuk dirinya sendiri.
Dari nash-nash dan paparan-paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kerja dan produktifitas. Islam tidak menyukai pengangguran dan kemalasan.

(Sumber: Agustianto/Percikan Pemikiran Ekonomi Islam)