PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI

PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI
TABIB BERIJIN RESMI, HERBAL 100% ALAMI, AMAN SUDAH IJIN B-POM DAN HALAL MUI, PENGOBATAN MENGGUNAKAN HERBAL YANG SUDAH DIPERKAYA DENGAN RUQYAH ISLAMI YANG SYAR'I. HARGA TERJANGKAU. INFO LENGKAP KLIK PADA GAMBAR. SMS/WA TABIB UNTUK KONSULTASI DAN PEMESANAN OBAT DI: 08121341710 ATAU 0811156812

Wednesday, October 12, 2016

Wakaf dan Kesejahteraan Ummat, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Dalam ajaran Islam, peninggalan wakaf yang pertama kali dikenal dalam masyarakat Arab pra Islam adalah Al-Ka’bah Al-Musyarafah yaitu rumah peribadatan pertama yang dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s sebagai tempat untuk berkumpul (Haj) dan tempat yang aman bagi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan masyarakat Arab waktu itu kemudian menjadikan Ka’bah sebagai pusat penyembahan berhala, dengan keyakinan bahwa penyembahan berhala tersebut merupakan salah satu upaya pendekatan diri kepada Allah. Selanjutnya setelah diutusnya nabi Muhammad saw syari’at Islam mengaturnya lebih jelas dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dan diikuti oleh para sahabatnya.

Pada masa Islam, kita ketahui bahwa wakaf pertama dalam tasyri’ Islam adalah wakaf masjid yang dibangun umat Islam bersama Rasulullah di Quba pada tahun 622 M. Selanjutnya adalah wakaf masjid Nabawi di Madinah yang merupakan masjid terpenting kedua setelah masjid Haram di Makkah.

Dalam kajian-kajian fiqh hadits yang cukup terkenal yang menunjukkan disayari’atkannya wakaf, selain Hadits Umar bin Khattab adalah hadits Abu Thalhah riwayat Muslim dan Anas bin Malik; Abu Thalhah adalah sahabat yang paling banyak kebun kormanya di Madinah. Harta yang paling ia cintai adalah Bairaha’ yang tepat berhadapan dengan masjid Nabi. Setelah turun dan dibacakannya ayat 92 Surat Ali Imran, maka Abu Thalhah berdiri dan mengatakan: “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha’, ia kami sedekahkan kepada Allah, kami hanya mengharapkan kebaikan dan pahalanya di sisi Allah. Pergunakanlah kebun itu sesuai dengan petunjuk Allah.” Maka Rasulullah pun menerima wakafnya dan memberikan petunjuk-petunjuk tentang penggunaan hartanya tersebut. (Abdul Wahab, Al-Waqf, 39).

Selanjutnya permasalahan wakaf menjadi wacana fiqhiyah yang dibicarakan secara panjang lebar oleh para fuqaha’ berkenaan pengertian, syarat-syarat dan rukun wakaf, syarat-syarat wakif, syarat-syarat harta wakaf, syarat sasaran wakaf serta ketentuan-ketentuan lain berkaitan dengan pemberdayaan lembaga wakaf.

Wakaf Potensial dalam Mengembangkan Kesejahteraan Umat

Negara-negara Islam modern menjadikan wakaf sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya di samping zakat. Contoh pemanfaatan wakaf seperti ini adalah Negara Mesir yang mauquf ‘alaih nya Universitas Al-Azhar.


Wakaf-wakaf di sana terdiri dari kebun-kebun korma yang jumlahnya mencapai ribuan hektar, hotel-hotel berbintang yang dikelola secara profesional, gedung-gedung perumahan/kondominium, toko-toko yang disewakan yang tiap tahun menghasilkan uang dan keuntungan yang banyak, sehingga wakaf tersebut merupakan sumber dana yang produktif yang tidak pernah kering.

Selain berupa gedung-gedung universitas dengan segala perlengkapannya yang serba modern, asrama-asrama mahasiswa dan dosen yang memadai. Dan itu semua dapat membiayai gaji karyawan, dosen dan beasiswa, serta membiayai mubaligh ke luar negeri, bahkan pada masa pemerintahan Presiden Gamal Abdun Nasher, di saat negara memerlukan bantuan keuangan, pemerintah meminjam ke Badan Wakaf Al-Azhar, bukan kepada bank dunia yang mematok bunga yang cukup tinggi (Rahmat Jatnika, 1993).

Wakaf dan Administrasi Pemerintahan

Keterlibatan pemerintah untuk mengatur masalah perwakafan adalah merupakan keniscayaan atas dasar kepentingan kemaslahatan (Al-Maslahah al-mursalah). Karena hal tersebut sudah menyangkut kepentingan umum (masyarakat banyak); jika tidak akan menimbulkan ketidaktertiban, kaidah yang populer dalam masalah ini adalah “Pemerintah berkewajiban mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan kemaslahatan.” Oleh karena itu ahli-ahli fiqih moneter dan administrasi Islam banyak yang membicarakan wakaf dengan pendekatan administrasi negara dan moneter.

Dalam kitab Al-Ahkam As-sulthaniyah (Hukum-hukum Negara) karangan Al-Mawardi Asy-Syafi’i, kitab Al-Ahkamu Shullhaniyah karangan Abu Ya’la dari Madzhab Hambali dan kitab as-Syiyasah Syar’iyah (Strategi Hukum) kalangan Ibnu Taimiyah, membahasnya secara signifikan. Kitab Al-Kharaj (Pajak Hasil Bumi) karangan Abu Yusuf, kitab Al-Kharaj (Pajak hasil Bumi) karangan Yahya bin Adam, kitab Al-Amwal (kekayaan) karangan Abu Ubaid membahasnya dengan pendekatan moneter yang cukup mamadai. Ahkam al-Auqaf oleh Asy-Syaibani, Ahkam al-Waqf karya Abdul Wahab khallaf, Risalah fi Hukmi Bai Al-Ahbas oleh Imam Yahya membahasnya dengan pendekatan hukum administrasi pemerintahan. Karena itu negara-negara Islam modern menjadikan wakaf sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya di samping zakat.


Wakaf dan Perwakafan di Indonesia

Pada tanggal 27 Oktober 2004 Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-undang tentang wakaf yang kemudian terkenal dengan undang-undang nomor 41 tahun 2004.


Dalam sejarah hukum di Indonesia wakaf diatur dengan tiga instrumen hukum, yaitu: pertama dengan instrumen Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, kemudian yang kedua dengan instrumen Inpres yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI) lalu yang terakhir dengan instrumen Undang-Undang nomor 41 tersebut.


Hal ini menindikasikan bahwa pemerintah Indonesia menaruh perhatian serius terhadap lembaga wakaf serta mensiratkan kesungguhan pemerintah untuk memperkokoh lembaga hukum Islam menjadi hukum nasional dalam bentuk transformasi hukum. Namun undang-undang tersebut belum bisa dilaksanakan secara optimal, karena secara organik masih memerlukan beberapa peraturan pelaksanaan yang diperintahkan oleh Undang-undang ini. Di samping itu juga perlu dipersiapkan SDM dalam rangka menjalankan tugas terkait dengan UU ini antara lain Badan Wakaf Indonesia dan para Nadzir yang diperankan dengan baik.

Ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dalam persoalan wakaf, namun yang terpenting bahwa wakaf tersebut harus punya prinsip untuk kesejahteraan rakyat, karena kalau melihat sejarah dan praktek wakaf di zaman nabi Muhammad Saw ternyata keberadaan badan wakaf sangat potensial dan menentukan bagi kelancaran roda ekonomi pada saat itu.

Selain itu prinsip yang harus dipegang dalam masalah wakaf ini adalah agar barang-barang yang diwakafkan tersebut jangan sampai habis atau rusak, dia harus tetap utuh dan menjadi dana abadi, dan ketika seseorang telah mewakafkan sesuatu apapun yang bisa diwakafkan, maka dia tidak bisa lagi mengambil kembali barang yang diwakafkan itu. Untuk melindungi kepentingan-kepentiongan tersebut negara telah memberikan payung hukum dengan instrumen yang khusus dengan undang-undang.

Ada beberapa hal yang menjadi pokok pikiran dari undang-undang tersebut, paling tidak meliputi lima prinsip; Pertama, untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, hal tersebut dapat dilihat adanya penegasan dalam undang-undang ini agar wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannnya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf yang harus dilaksanakan.


Kedua, ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut undang-undang ini wakif dapat pula mewakafkan sebahagian kekayaan berupa harta benda bergerak, baik berwujud dan tak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya.

Dalam hal benda bergerak berupa uang, wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga Keuangan Syariah. Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah di sini adalah badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bergerak di bidang keuangan syari’ah, misalnya badan hukum di bidang perbankan syari’ah.

Ketiga, peruntukan harta wakaf tidak semata-mata kepentingan sarana ibadah dan sosial, tetapi juga dapat diperuntukkan memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Karena itu sangat memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf untuk kegiatan ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip manajemen dan ekonomi syari’ah.

Keempat, untuk mengamankan harta benda wakaf dan campurtangan pihak ketiga yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional Nazhir.

Kelima, undang-undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf dan memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. 9Lihat penjelasan dari UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf).

Fiqih dan Peraturan Perundangan tentang Wakaf

Pembahasan ulama tentang wakaf sesungguhnya telah cukup maju, banyak gagasan yang mereka kemukakan sudah mengantisipasi perkembangan zaman.

Fuqaha madzhab maliki misalnya, membolehkan mewakafkan segala sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada orang yang diberi wakaf, baik barang bergerak maupun tidak bergerak untuk selamanya (Ali Fikri, Al-Muamalat, 3007) bahkan beliau berpendapat bahwa manfaat hewanpun dapat diwakafkan, apalagi memanfaatkan uang.

Madzhab Syafi’i dan hambali memberikan penekanan pada kekekalan manfaat, baik harta wakaf itu berupa benda bergerak seperti mobil dan hewan, atau benda tidak bergerak sepeti rumah dan tanaman boleh diwakafkan. Merekapun membolehkan wakaf terhadap benda milik bersama (kolektif).

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (4) menyatakan bahwa: “Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.” Kemudian pasal 217 ayat (3) menyatakan bahwa: Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.” Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 pasal 4 menyatakan: “Tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan perkara.”

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa beberapa fuqaha seperti Imam Az-Zuhri juga berpendapat bahwa boleh mewakafkan dinar dan dirham, implementasinya adalah bahwa dinar dan dirham tersebut dijadikan sebagai modal usaha (dagang) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Menurut Madzhab Hanafi bahwa uang yang diwakafkan dijadikan modal usaha dengan sistem mudharabah atau murabahah dan sistem bagi hasil lainnya yang sah menurut syar’i. Keuntungan dan bagi hasil tersebut diberikan untuk kepentingan umum.

Melihat prinsip-prinsip dalam peraturan perundang-undangan wakaf baik yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 di atas nampak bahwa peraturan perundangan tersebut sinkron dengan pendapat madzhab-madzhab yang dikenal dalam fiqih Islam. Bahkan keberadaan peraturan perundangan wakaf setidaknya telah memberikan pengertian keluasan cakupan benda wakaf sekaligus memberikan legitimasi kekuatan dan kepastian hukum wakaf; misalnya tentang ketentuan kewajiban mendaftarkan tanah wakaf, syarat-syarat nadzir dan lain sebagainya.


Wakaf adalah merupakan sebuah lembaga keagamaan yang bernilai ekonomi tinggi, kalau dikelola secara profesional maka keberadaannya menjadi sesuatu yang dapat menopang perekonomian umat. Kita bisa berkaca kepada wakaf Al-Azhar yang mampu membantu keuangan pemerintah disaat terjadi krisis moneter. (zar)

(Sumber: Drs. H. Abdul Salam, S.H., M.H/Suara Muhammadiyah No.19/Th. Ke-90)