PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI

PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI
TABIB BERIJIN RESMI, HERBAL 100% ALAMI, AMAN SUDAH IJIN B-POM DAN HALAL MUI, PENGOBATAN MENGGUNAKAN HERBAL YANG SUDAH DIPERKAYA DENGAN RUQYAH ISLAMI YANG SYAR'I. HARGA TERJANGKAU. INFO LENGKAP KLIK PADA GAMBAR. SMS/WA TABIB UNTUK KONSULTASI DAN PEMESANAN OBAT DI: 08121341710 ATAU 0811156812

Wednesday, October 12, 2016

Telepon Seluler, si Pembuat "Keajaiban" di sebuah desa terpencil, Allah SWT, Subhanallah, masyarakat islami, pengobatan islami, ibadah islami, ekonomi islam, dunia islam, hadis shahih, kajian al qur’an



“Pak…, kapan mau ke CIKALONG?. Sedang musim panen pisang lho. Kalau sempat, main ya. Saya tunggu”. Demikianlah bunyi sebuah SMS dari kenalan saya, seorang warga di Desa Cikalong Kulon, Cianjur, Jawa Barat.

Mang Aep, begitulah dia biasa kami panggil.

Seorang lelaki paruh baya yang tinggal di desa Cikalong Kulon, 25 Km dari kota Cianjur. Sebuah desa yang tenang, berjarak 1 Km dari jalan utama Jakarta-Cianjur.


Untuk mencapai desa tersebut, sebelumnya diperlukan transportasi Ojek Motor yang harus menempuh jalan setapak tak beraspal, dan tidak mungkin dilalui dengan kendaraan roda empat.

Tetapi jangan sampai melalui jalan tersebut di musim hujan, karena jalan tersebut akan menjadi sangat becek dan licin. Motor yang memaksa untuk masuk, mudah sekali tergelincir, dan seringkali mencelakakan penumpangnya .

Setelah lelah terguncang-guncang sekitar setengah jam diatas ojek, kita akan menemukan pemandangan yang sangat kontras saat memasuki daerah pedesaan tersebut.
Rumah-rumah penduduk yang semi permanen (dibagian bawah menggunakan batako di plester, dan dibagian atasnya menggunakan kayu), tersusun rapi.

Kontur tanahnya yang naik turun, menambah ke-Eksotisan lingkungan tersebut.

Hening, itulah gambaran yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi kampung tersebut. Hanya sesekali terdengar suara anak-anak bermain. Sementara orang tua mereka biasanya menghabiskan waktu di sawah atau kebun untuk bercocok tanam. Ada juga penduduk yang bekerja membuat gula merah.

Desa ini selalu menjadi tempat saya dan adik-adik saya untuk singgah melepas penat dalam perjalanan menuju kota Bandung lewat jalur Jakarta-Jonggol-Cianjur-Bandung. Atau saat kami kembali ke Jakarta dari Bandung.

Mang Aep adalah salah seorang warga kampung Cikalong, yang memiliki pekerjaan sebagai petani penggarap. Dia biasa bertugas untuk membersihkan kebun-kebun yang ada di sekeliling desa, dan mendapat upah dari para pemilik kebun.

Kami lebih memilih rute melalui Desa Cikalong, dibanding rute melalui jalur PUNCAK yang sangat padat, dan kurang menawarkan petualangan.

Di desa itu kami bisa memancing ikan di sungai, dan mandi di air terjun yang masih sangat alami sambil melakukan “ritual” bakar ikan, yang sangat lezat disantap setelah puas mandi di air terjun. Dan Mang Aep-lah yang selalu menemani kami selama kami berada di kampung tersebut.
Kami sangat tertarik melihat kesederhanaan kehidupan di kampung ini. Tanah yang subur, penduduknya yang ulet, telah menghasilkan hasil panen untuk mencukupi segala kebutuhan pangan mereka.

Akan tetapi, sebagian besar hasil kerja mereka, akan dikonsumsi sendiri. Kalaupun ada yang akan dijual ke pasar Cianjur, biasanya jika hasil panen sedang berlimpah, dan tidak habis untuk dikonsumsi oleh mereka sendiri.

Beras, buah pisang, petai, buah jambu biji dan buah nangka, adalah hasil pertanian yang biasanya akan dijual sepanjang masa panen, mengingat jumlahnya sangat berlimpah dimasa panen raya, dan mudah ditemui di sekitar desa tersebut.

Seringkali kami kembali ke Jakarta dari kampung tersebut, dengan mobil yang penuh dengan berbagai buah-buahan tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.

“Bawa aja Pak, daripada busuk nggak dimakan di sini”, ujar Mang Aep yang selalu menolak kalau saya hendak mengganti buah-buahan tersebut dengan sejumlah uang. Untuk membalas kebaikannya, bisanya saya akan meninggalkan 1 slop rokok kretek kesukaannya.

“Rugi pak, kalau hasil panen harus di jual ke Pasar Cianjur. Ongkos ojek dan angkutannya mahal, sementara kalau panen raya, harga jual biasanya jatuh”, demikian ungkap salah satu penduduk desa saat saya menanyakan kenapa hasil panen yang berlimpah tersebut tidak mereka jual saja ke pasar.

“Lalu dikemanakan kalau tidak di jual”, tanya saya.

“Kalau beras paling kami simpan dalam bentuk gabah. Setiap kali kami mau masak, baru akan kami giling di penggilingan beras. Kalau buah-buahan, ya kami konsumsi saja. Kalau sudah terlalu banyak, ya paling kami biarkan membusuk di pohonnya. Diambil juga percuma, hanya buang-buang tenaga”, demikian ungkapnya lebih jauh.

“Kenapa tidak coba dijual ke Jakarta?”, tanya saya lebih lanjut.

“Maunya sih gitu pak. Dulu pernah ada yang mau nampung hasil panen di Jakarta, tetapi susah kalau saya mau periksa barang apakah sudah habis atau perlu ditambah. Masalahnya telepon belum ada di kampung ini. Kalau mau telepon, harus ke Wartel yang ada Cianjur dulu. Sementara kalau harus bolak-balik ke Jakarta, ongkosnya juga nggak sedikit. Malah jadi repot, pak”, jelas si Mang Aep dengan panjang lebar.

“Sayang ya…, semua itu harus terbuang sia-sia”, ujar saya sambil menghela nafas, mengingat mereka seperti seekor ayam yang kelaparan ditengah-tengah lumbung padi.

Hidup mereka sangatlah sederhana (jika tidak ingin dikatakan miskin), sementara tanah mereka sangat subur dan menghasilkan hasil panen yang sangat berlimpah, tetapi tidak termanfaatkan untuk menambah kemakmuran hidup mereka.

Percakapan diatas selalu berulang, setiap kali saya singgah dikampung itu sejak tahun 1994, dan hanya menjadi obrolan pengisi waktu semata. Keesokan harinya setelah kembali ke Jakarta, saya akan kembali bergelut dengan rutinitas kerja yang padat di kantor, dan melupakan percakapan tersebut.

Hingga pada suatu pagi, saya menerima SMS dari Mang Aep, yang menanyakan kabar saya dan adik-adik saya di Jakarta (saya memang pernah meninggalkan kartu nama yang didalamnya tercantum nomor HP saya). Saya coba untuk menghubungi langsung ke nomor HP tersebut, dan Mang Aep ternyata sedang berada di sawah.

“Hebat ya Mang, ke sawah saja sudah bawa HP sekarang…”, ujar saya.

Mang Aep hanya tertawa renyah, sambil meminta saya untuk singgah ke Cikalong jika ada waktu. “Kan bapak sudah hampir 3 tahun tidak mampir ke kampung saya”, ujar Mang Aep mengingatkan.

Ya…, sudah hampir 3 tahun saya absen mengunjungi kampung tersebut karena kesibukan saya yang sangat menyita waktu sebagai seorang karyawan sebuah pabrik di Jakarta.

Tiga minggu kemudian, saya berkesempatan untuk mengunjungi Desa Cikalong tersebut.

Cukup mengejutkan, ternyata cukup banyak yang berubah di kampung itu.

Selain jalan masuk yang kini sudah diperlebar, dan ditaburi batu split di sepanjang jalan (sehingga tidak licin di musim hujan), saya juga melihat banyak rumah yang di halaman depannya, diparkir sepeda motor dengan model terbaru. Bahkan ada beberapa rumah yang memiliki mobil bak terbuka.


Oh ya, satu hal yang terlambat saya sadari, bahwa saya mendengar adanya beberapa kali suara deringan Handphone dari beberapa rumah penduduk. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya. Ditambah lagi pandangan mata saya tertumbuk pada sebuah kios sederhana dari penjual pulsa Handphone, tepat di depan jalan masuk desa.

“Wah…, sudah maju ya kampungnya Mang Aep”, ujar saya sambil tersenyum.

“Syukurlah pak. Setelah saya beli Handphone bekas sekitar 3 tahun yang lalu, saya menghubungi kawan yang dulu pernah menampung buah-buahan kami di Pasar Induk Kramat Jati. Dan dia mau kerjasama lagi, setelah dia tahu bahwa saya sekarang mudah dihubungi melalui Handphone. Kalau dulu-kan dia memutus kerjasama dengan saya karena saya sulit untuk dihubungi. Padahal sewaktu-waktu barang habis, saya seharusnya bisa langsung dihubungi oleh kawan di Jakarta, agar barang bisa kembali di kirim".


"Saya sendiri susah kalau harus bolak-balik ke Jakarta untuk ngecek barang. Mahal sekali ongkosnya. Kalau sekarang, ketika stok barang mau habis, dia langsung bisa menghubungi saya di Handphone, dan segera saya kirim barangnya”, ujar Mang Aep bersemangat.

“Malah sekarang bukan hanya buah-buahan, Pak. Jika panen padi berlimpah, kami sudah ada penampung di Jakarta yang bisa menampung beras tersebut untuk kemudian di jual di pasar Induk beras Cipinang. Atau jika sedang banyak buah kelapa, gula merah, atau hasil panen lainnya, maka hasil panen kami bisa dibawa ke Jakarta untuk di jual di beberapa pasar tradisional”.

“Saya kenal mereka semua dari kawan saya penampung buah-buahan di Jakarta tersebut. Awalnya saya menawarkan berbagai hasil panen di desa kami ini kepada dia. Tetapi karena dia hanya fokus pada buah-buahan, akhirnya saya dikenalkan pada kawan-kawannya yang bersedia menampung berbagai hasil panen kami, seperti singkong, petai, ubi, kacang tanah, gula merah, kelapa dan lain-lain”.

“Karena saya juga hanya bisa mampu mengurus buahan-buahan, untuk hasil panen lain saya serahkan ke teman-teman sesama warga. Kalau ada kawan yang punya kebun kelapa, maka saya akan mengenalkan kawan tersebut dengan penampung kelapa di Jakarta. Kalau ada kawan yang suka membuat gula merah, maka akan saya kenalkan dengan penampung gula merah, dan seterusnya. Yah…, bagi-bagi rejekilah”, ujarnya sambil terus tersenyum.

“Nanti mereka tinggal telfon-telfonan pakai Handphone untuk mengurus pengiriman barang. Biasanya sih, penampung akan kirim mobil untuk ambil barang ke sini. Lalu langsung bayar saat barang diambil. Jadi kita tidak takut kalau barang bakal tidak dibayar.”

“Tapi ada juga teman-teman warga disini yang semakin pintar. Setelah mereka punya uang cukup untuk beli mobil bekas, mereka lalu membeli mobil bak terbuka. Mereka bawa langsung barang ke Pasar Induk untuk jual ke penampung yang bersedia membayar dengan harga lebih tinggi. Jadi berlipat deh untungnya”.
“Alhamdulillah, sekarang tidak ada lagi hasil panen yang sia-sia. Bahkan seringkali kami harus mencari hasil panen ke desa-desa lain, untuk sekedar memenuhi pesanan dari Jakarta. Hasilnya bisa bapak lihat sendiri-kan. Hampir semua kepala keluarga disini sudah bisa kredit motor. Dan Handphone bukan lagi jadi barang mewah, tetapi sudah jadi kebutuhan untuk menunjang penyaluran hasil panen kami. Dan keuntungan yang kami terima, sebagian kami sumbangkan untuk perbaikan jalan dan pembangunan Masjid desa”, ujar Mang Aep dengan bangga.

Saya tercenung. “Betapa dahsyatnya pengaruh telepon selular dalam mengangkat taraf ekonomi warga Cikalong ini”, ujar saya dalam hati.

Benar sekali ungkapan dari dosen saya sewaktu saya kuliah dulu. Bahwa, “barang siapa yang menguasai Informasi, maka ia menguasai dunia”. Kini warga Cikalong sudah bisa mengetahui fihak-fihak mana yang dapat membantu mereka untuk menampung hasil bumi mereka.

Kendala jarak dan biaya, sudah bisa mereka atasi dengan penggunaan Telepon Selular.

Untuk memulainya mereka cukup membeli sebuah Handphone bekas dengan harga ratusan ribu rupiah saja, sudah termasuk dengan perangkat SIM Card.

Hal tersebut menjadi semakin mudah setelah adanya kartu SIM Pra Bayar yang bisa dibeli oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Ditambah dengan biaya pulsa yang sangat bersaing antar Operator Selular.

Kontribusi dari Operator Selular yang telah menyediakan “Telepon Murah” kepada warga di Desa Cikalong yang merupakan salah satu daerah tertinggal, dimana kemudian berhasil dimanfaatkan oleh warga untuk meningkatkan taraf hidup mereka, adalah sebuah “Keajaiban”.

Ya…, sebuah “Keajaiban” yang ternyata telah dapat menyulap sebuah desa terpencil yang seperti mati, menjadi sebuah desa yang bergairah dengan geliat perbaikan ekonomi pedesaan.

It’s a Miracle…!.

Operator Selular juga telah memberikan jawaban jitu dari sebuah persoalan klasik yang selalu di kemukakan oleh Penyedia Telepon Tetap (Fix Phone), yaitu kendala ketersediaan dana untuk investasi pembangunan jaringan Satuan Sambungan Telepon (SST) yang sangat mahal. Dimana di butuhkan USD 1,000,- untuk setiap SST. Sementara untuk skala nasional, setidaknya diperlukan 20.000 SST baru setiap tahunnya.

Selain kendala dana Investasi yang sedemikian besar, Penyedia Telepon Tetap juga masih harus direpotkan oleh banyak-nya “Telepon Tidur”, yaitu pemilik telepon yang “hanya” membayar abonemen teleponnya, tanpa menggunakannya. Sementara itu, biaya perawatan setiap SST adalah Rp. 150.000,- perbulan, sedangkan pemasukan dari setiap SST “tidur”, hanyalah Rp. 25.000,- setiap bulannya.

Wajar, kalau kemudian semua permasalahan diatas, membuat daerah-daerah terpencil seperti desa Cikalong Kulon dan desa-desa terpencil lainnya di Indonesia, terabaikan untuk bisa mendapatkan fasilitas Telekomunikasi yang mampu memberi peluang bagi mereka untuk merengkuh informasi yang di butuhkan demi pengembangan perekonomian desanya.

Kini dengan segala kemudahan yang ditawarkan oleh Operator Selular, seperti kemudahan memiliki kartu secara lebih leluasa melalui Kartu Pra Bayar, perluasan jangkauan dan penguatan sinyal oleh Operator Selular dengan penambahan Base Transciever Station (BTS) dan Mobile Switching Centre (MSC) yang berkesinambungan, ditambah lagi dengan semakin murahnya biaya pulsa, membuat semakin banyak warga pedesaan yang bisa memanfaatkan jasa Telekomunikasi yang ditawarkan oleh Operator Selular.

Hal itu bisa dibuktikan dengan semakin tergesernya jumlah pengguna Telepon Tetap/Fix Phone/Fix Line, oleh pengguna Jasa Operator Selular. Dimana persentase pertumbuhan dari pengguna Telepon Tetap/Fix Phone/Fix Line (yang juga biasa disebut dengan PSTN / Public Switched Telephone Network) di Indonesia, diperkirakan rata-rata hanya sebesar 5% setiap tahunnya. Sementara persentase pertumbuhan dari pengguna Jasa Operator Selular adalah rata-rata sebesar 50% setiap tahunnya.

Persentase tersebut dapat bertambah lebih besar lagi, mengingat banyak pengguna Telepon Tetap juga menggunakan Jasa Operator Selular sebagai penunjang “Mobile Telecommunication” nya.

Awalnya saya tidak pernah menyangka, bahwa kemajuan Telepon Selular akan dapat berdampak sedemikian dahsyatnya bagi perbaikan ekonomi di daerah terpencil. Hingga kemudian, Mang Aep, seorang warga desa yang lugu dan jujur, telah membukakan mata saya.

Saya kemudian berandai-andai, bahwa jika saja pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas yang terkait, seperti Departemen Perdagangan, Departemen Koperasi dan lain-lain, dapat memanfaatkan “Keajaiban” dari Jasa Operator Selular dalam menghubungkan para pengguna Telepon Selular di desa-desa terpencil atau di daerah-daerah tertinggal dengan pihak-pihak yang memiliki minat yang sama di daerah lain, maka “Keajaiban” yang terjadi di desa Cikalong Kulon, bisa di tularkan ke daerah-daerah terpencil lainnya.

Menurut hemat saya, bukanlah hal yang sulit bagi Departemen Perdagangan dan Departemen Koperasi untuk bekerjasama dengan Pemerintah Daerah setempat di daerah tertinggal, untuk kemudian mendata potensi daerahnya masing-masing, kemudian membuat sebuah daftar/list dari pihak-pihak yang dapat dihubungi langsung dalam memasarkan produk-produk unggulannya tersebut.

Dengan cara diatas, mekanisme pasar yang competitive akan dapat di capai dengan baik. Tidak akan ada lagi tengkulak yang biasa menekan harga ditingkat petani, kemudian mengambil keuntungan berlipat-lipat di tingkat pembeli. Dengan cara itu pula, mata rantai distribusi bisa dipotong lebih ringkas, sehingga harga barang ditingkat konsumen akan dapat di tekan. Fungsi dari berbagai Departemen dan Pemerintah Daerah, kemudian akan menjadi sebagai fasilitator.

Sesungguhnya masyarakat kita di daerah terpencil tidaklah bodoh. Hanya saja mereka membutuhkan berbagai pihak yang dapat mengarahkan mereka agar berada "di jalur yang benar", sehingga mereka bisa memanfaatkan “Keajaiban” yang ditawarkan oleh Operator Seluler. Yaitu “Keajaiban” telekomunikasi dan informasi yang dahulu tidak bisa mereka jangkau. Tetapi kini, berkat kontribusi dari Operator Selular, mereka dapat melakukan kegiatan telekomunikasi dengan mudah dan terjangkau.

Dan jika pemerintah tidak mampu mengarahkan mereka tentang tujuan penggunaan Telepon Selular yang baik, dimana agar “Keajaiban” dari Jasa Operator Seluler itu bisa bermanfaat untuk meningkatkan taraf hidup mereka di daerah-daerah terpencil, maka “Keajaiban” tersebut tidak akan pernah bisa di wujudkan.

Dan tanpa bimbingan dari Pemerintah, maka kontribusi yang dengan susah payah diberikan oleh Operator Selular tersebut, bukannya akan bermanfaat bagi peningkatan taraf hidup masyarakat di desa tertinggal, malah hanya akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat di daerah tersebut.

Hal itu bisa terjadi karena mereka “harus” membeli perangkat Handphone beserta pulsa telepon selular, yang mana karena ketidak tahuan mereka bahwa telepon selular dapat memberikan “keajaiban” bagi mereka, lalu mereka gunakan hanya sebatas untuk kegiatan yang tidak produktif, atau sekedar mengikuti “gaya hidup” konsumtif semata.

Jika itu yang terjadi, akan sia-sia peluang emas yang sudah disediakan oleh Operator Selular yang sangat menggebu-gebu dalam membangun Base Transciever Station (BTS) dan Mobile Switching Centre (MSC) di berbagai daerah-daerah terpencil. Dimana tujuannya adalah agar jasa Operator Selular akan dapat dimanfaatkan oleh lebih banyak lagi anggota masyarakat di berbagai pelosok desa.

Dan ini merupakan “The Golden Moment” bagi pemerintah, untuk “mendidik” seluruh masyarakat pengguna Jasa Operator Selular, bahwa Telepon Seluler bukan semata-mata sebuah pemuas dahaga akan trend, atau untuk sekedar digunakan bagi kegiatan tidak produktif. Akan tetapi, jika digunakan dengan benar, akan dapat meningkatkan taraf hidup dan perekonomian mereka.

Untuk jangka panjang, hal tersebut juga akan menguntungkan bagi Operator Selular.

Biasanya, pengguna Jasa Operator Selular yang menggunakannya untuk kegiatan produktif, tidak akan merasa “sayang” dalam menggunakan pulsa. Sementara bagi yang menggunakannya untuk kegiatan non produktif, biasanya menggunakan pulsanya dengan “sehati-hati” mungkin. Hal ini bisa sangat mungkin terjadi, terutama pada pengguna Jasa Operator Selular di daerah terpencil, yang sebagian besar taraf hidupnya berada di golongan menengah kebawah.

“Pak…, kok jadi melamun. Diminum atuh teh-nya!”, seru Mang Aep dengan logat sundanya yang kental.

Lamunan saya langsung terputus. Sembari tersenyum, saya ulurkan tangan untuk meraih teh manis hangat yang sudah disediakan sedari tadi.

Saya kembali berkhayal, seandainya saja, semua daerah tertinggal dapat difasilitasi dan di edukasi oleh Pemerintah Daerahnya masing-masing, untuk dapat memanfaatkan Jasa Operator Selular dengan baik dan benar dalam membangun perekonomiannya, pasti cap “Daerah Terpencil” yang disandangnya, akan dapat ditanggalkan. Dan Kemakmuran bagi seluruh warga Indonesia, tidak lagi menjadi sesuatu yang hanya dapat di khayalkan semata.

Sesaat kemudian, Mang Aep mengambil sebatang rokok yang sengaja saya bawa dari Jakarta. Disulut, dan dihisapnya dengan tenang. Tampak keceriaan tergurat di wajahnya. Keceriaan yang mensiratkan keyakinan, bahwa masa depan yang semakin cerah, akan terbentang bagi dirinya dan seluruh warga desa lainnya.(Iman Rachman).